Briefing Kelas Inspirasi Malang
"Bagi Anda hanya satu hari cuti bekerja, namun bagi murid-murid itu bisa menjadi hari yang menginspirasi mereka seumur hidup. Berbagi cerita, pengetahuan, dan pengalaman untuk menjadi cita-cita dan mimpi mereka."
Kami Orang Desa Yang Tak Punya nasionalisme
Kalau seorang pejabat disebut orang yang paling mengerti apa itu nasionalisme, maka – sekali lagi kami belum punya hal itu. Kalian tahu, arti kata oposisi dan koalisi saja kami tidak paham, yang kami paham cuma istilah saling menasehati dan saling tolong, itu saja.
Selasa, Oktober 17
4 Pilar Pendidikan UNESCO
Posted by Wahyu Nur Hidayat, M.Pd on 19.20
UNESCO selaku badan PBB yang mengurus masalah
pendidikan dan kebudayaan mencetuskan 4 pilar pendidikan, yaitu learning to
know, learning to do, learning to be, dan learning to live togather.
Learning to know (Belajar mengetahui)
Dalam pilar ini,
belajar dimaknai sebagai upaya hanya sebatas untuk mengetahui. Belajar ini
termasuk dalam kategori belajar pada tingkat yang rendah, yakni belajar yang
lebih menekankan pada ranah kognitif. Learning to know mengandung pengertian
bahwa belajar itu pada dasarnya tidak hanya berorientasi kepada produk atau
hasil belajar, akan tetapi juga harus berorientasi kepada proses belajar.
Dengan proses belajar, siswa bukan hanya sadar akan apa yang harus dipelajari,
akan tetapi juga memiliki kesadaran dan kemampuan bagaimana cara mempelajari
yang harus dipelajari.
Learning to know memiliki pengertian
bahwa ketika kita belajar kita akan menjadi tahu. Selain itu juga menyiratkan
makna bahwa pendidik harus mampu berperan sebagai informator, organisator,
motivator, director, inisiator, transmitter, fasilitator, mediator, dan
evaluator bagi siswanya, sehingga peserta didik perlu dimotivasi agar timbul
kebutuhan terhadap informasi, keterampilan hidup, dan sikap tertentu yang ingin
dikuasainya.
Learning to know dilakukan dengan
cara memadukan penguasaan terhadap suatu pengetahuan umum yang cukup luas
dengan kesempatan untuk bekerja secara mendalam pada sejumlah kecil mata
pelajaran. Dan learning to know ini mengandung prinsip berikut: 1) diarahkan
untuk mampu mengembangkan ilmu dan terobosan teknologi dan merespon sumber
informasi baru; 2) Memanfaatkan berbagai sumber pembelajaran; 3) network
society; dan 4) learning to learn dan life long education.
Learning to do (Belajar berkarya)
Learning to do maksudnya setelah
kita mengetahui hal-hal yang baru dari pembelajaran yang kita lakukan, kita
bisa melakukan sesuatu karya atau bentuk pekerjaan nyata dari ilmu yang telah
diserap. Learning to do mengupayakan pemberdayaan peserta didik agar mau dan mampu berbuat untuk memperkaya
pengalaman belajarnya sehingga mampu menyesuaikan diri dan berpartisipasi dalam
masyarakat. Pembelajaran ini menyiratkan bahwa siswa dilatih untuk sadar dan mampu
melakukan suatu perbuatan atau tindakan produktif dalam ranah kognitif,
afektif, dan psikomotor. Peserta didik diajarkan untuk melakukan sesuatu dalam
situasi konkrit yang tidak hanya terbatas pada penguasaan ketrampilan yang
mekanitis melainkan juga terampil dalam berkomunikasi, bekerjasama dengan orang
lain, mengelola dan mengatasi suatu konflik. Melalui pilar kedua ini,
dimungkinkan mampu mencetak generasi muda yang cerdas dalam bekerja dan
mempunyai kemampuan untuk berinovasi. Terkait dengan hal tersebut maka proses
belajar-mengajar perlu didesain secara aplikatif agar keterlibatan peserta
didik, baik fisik, mental dan emosionalnya dapat terakomodasi sehingga mencapai
tujuan yang diharapkan.
Contoh : Ketika kita
bisa mengetahui bahwa pekerjaan yang berhubungan dengan administrasi akan lebih
menghabiskan banyak kertas dan pencarian datanya lama, maka kita bisa berkarya
untuk menciptakan sistem informasi untuk mengelola data-data administrasi
tersebut.
Learning to be (Belajar menjadi diri sendiri dan mengembangkan diri)
Learning to be mengandung pengertian bahwa belajar adalah membentuk manusia
yang menjadi dirinya sendiri. Dengan kata lain, belajar untuk
mengaktualisasikan dirinya sendiri sebagai individu dengan kepribadian yang
memiliki tanggung jawab sebagai manusia. Belajar dalam konteks ini bertujuan untuk
meningkatkan dan mengembangkan potensi peserta didik, sesuai dengan minat dan
bakatnya atau tipe-tipe kecerdasannya (types of intelligence). Konsep learning
to be, perlu dihayati oleh praktisi pendidikan untuk melatih siswa agar
mampu memiliki rasa percaya diri (self confidence) yang tinggi.
Kepercayaan merupakan modal utama bagi siswa untuk hidup dalam masyarakat.
Dalam hubungan ini, pendidikan harus berhubungan dengan setiap aspek dari
potensi pribadi yang berupa: mengingat, menalar, rasa estetis, kemampuan-kemampuan
fisik, dan keterampilan-keterampilan berkomunikasi. Aspek-aspek learning to
know dan learning to do mendukung usaha siswa meningkatkan
kecerdasan dan mengembangkan keterampilan intelektual dirinya secara
berkelanjutan.
Learning to live together (Belajar hidup bersama)
Pilar keempat ini memaknai belajar sebagai
upaya agar peserta didik dapat hidup bersama dengan sesamanya secara damai
untuk dapat bekerja sama. Dikaitkan dengan tipe-tipe kecerdasan, maka pilar
keempat ini berupaya untuk menjadikan peserta didik memiliki kecerdasan sosial
(social intelligence). Learning
to live together maksudnya dengan kita mengetahui dan kita dapat melakukan
sesuatu dari apa yang kita pelajari, selanjutnya kita dapat melakukannya untuk
diri kita sendiri dan juga untuk orang lain yang ada di sekitar kita.
Pembelajaran ini bertalian erat dengan pemberantasan sikap egoisme yang
mengarah pada chauvinisme pada peserta didik sehingga melunturkan rasa
kebersamaan dan harga-menghargai. Memahami, menghormati dan bekerja dengan
orang lain, mengakui ketergantungan, hak dan tanggungjawab timbal balik yang
melibatkan partisipasi aktif warga, tujuan bersama menuju kerekatan sosial,
perdamaian dan semangat kerjasama demi kebaikan bersama. Sebab, dewasa ini
sudah mulai banyak tertanam sikap-sikap egoisme pada diri tiap
individu-individu.
Salah
satu fungsi sekolah adalah tempat bersosialisasi, artinya mempersiapkan siswa
untuk dapat hidup bermasyarakat. Situasi bermasyarakat hendaknya dikondisikan
di lingkungan sekolah. Kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka,
memberi dan menerima, perlu ditumbuhkembangkan. Kondisi seperti inilah yang
memungkinkan terjadinya “learning to live together”. Learning to live together yaitu proses
pembelajaran yang memungkinkan peserta didik menghayati hubungan antar manusia
secara intensif dan terus menerus untuk menghindarkan pertentangan ras/etnis,
agama, suku, keyakinan politik, dan kepentingan ekonomi. Peningkatan pendidikan
nilai kemanusiaan, moral, dan agama yang melandasi hubungan antar manusia.
Makna Keterampilan How To Think, How To Learn, dan How To Create dalam Pendidikan
Posted by Wahyu Nur Hidayat, M.Pd on 19.18
Pendidikan kejuruan hadir sebagai wahana dalam upaya memfasilitasi berkembangnya kemampuan siswa dalam melakukan sinergi secara komperhensif dan produktif antara keterampilan how to think, how to learn, dan how to create untuk dapat berperan sebagai pencipta lapangan kerja (job creator) yang professional, pencari kerja (job seeker) yang kompetitif atau sebagai individu atau kelompok yang memiliki daya enduransi yang tinggi dalam berkompetisi (high degree pursuer) (Mukhadis, 2013:7-8).
Makna Keterampilan how to think, how to learn, dan how to create
1) How to think
How to think merupakan keterampilan berpikir dalam melihat sebuah permasalahan dari berbagai sudut pandang. Keterampilan ini merupakan prasyarat bagi terbentuknya keunggulan kemampuan dalam mengidentifikasi, menganalisis, memahami dan menetapkan skala prioritas alternatif pemecahan masalah yang dihadapi secara efektif dan efisien (Mukhadis, 2009:226). How to think dapat dikerucutkan menjadi 3 pendekatan kemampuan berpikir yaitu kemampuan berpikir kritis (analitik), sintetik (kreatif) dan praktikal.
Berpikir kritis memiliki representasi sebagai keterampilan analisis dan evaluasi ide (Naqiyah, 2005). Keterampilan ini lebih berorientasi pada kemampuan menganalisis dan berpikir kritis terhadap suatu fenomena (masalah). Kemampuan berpikir sintetik merupakan kemampuan membangkitkan ide baru dan menarik, lebih berperan dalam penemuan terhadap alternatif pemecahan masalah yang belum dikenal sebelumnya (berpikir kreatif). Sedangkan kemampuan berpikir praktikal merupakan kemampuan menerjemahkan teori ke dalam praktek, dan merubah ide-ide abstrak ke arah kecakapan praktikal. Kemampuan praktikal juga mempunyai arti sebagai kemampuan melaksanakan alternatif pemecahan masalah yang telah ditemukan, dinilai khalayak, diberi masukan, dan bagaimana kita menyikapi terhadap masukan.
2) How to Learn
Pendidikan kejuruan berfungsi sebagai wahana dalam upaya memfasilitasi berkembangnya proses belajar dan berbuat (learning by doing) dengan mengacu pada ritme dialektika sesuai bidang kejuruan yang ditekuni. Keterampilan dalam belajar (how to learn) menjadi sangat penting sebagai langkah dalam mencari, memanfaatkan dan mengembangkan informasi yang unggul.
Keterampilan tersebut ini direpresentasikan dalam kemampuan melakukan aktivitas learning, unlearning, dan relearning (Harefa, 2010) yang berlangsung sepanjang waktu dimana berada dan bekerja. Karena itu, belajar (learning) akan mengajari seseorang untuk tidak pernah berhenti berpikir. Namun karena dialektika otak dan hati selalu terjadi, secara psikologis adakalanya manusia merasa puas dan merasa sudah menjadi seperti yang mereka harapkan. Pada posisi dan situasi itulah terjadi yang disebut sebagai unlearning.
Ketika otak merasa puas dan berhenti berpikir, manusia bisa saja terperosok ke dalam sebuah dunia lain sehingga dia bertindak tanpa memikirkan risiko dan akibat yang akan ditimbulkannya. Perilaku menyimpang merupakan gambaran bahwa manusia bisa mengalami fase unlearning. Secara ekstrem, gambaran perilaku menyimpang seperti teroris dan koruptor merupakan beberapa contoh bahwa manusia bisa terjebak ke dalam perilaku unlearning (Baedowi, 2012).
Namun jika hati seseorang dapat menuntun lagi kerja otak untuk mulai berpikir dan belajar kembali, fase semacam itu disebut relearning. Untuk kembali belajar (relearning), seseorang tidak hanya membutuhkan tuntunan hatinya, tetapi juga dukungan lingkungannya. Itulah sebabnya untuk kasus-kasus tertentu seperti para bekas teroris, diperlukan sebuah proses belajar kembali dengan cara memberi mereka dukungan untuk kembali kepada habitat dan masyarakat.
Dalam konteks belajar-mengajar, proses relearning juga sejalan dengan prinsip re-education, sebuah basis filosofis untuk bekerja dengan orang-orang yang mengalami gangguan, baik secara emosi maupun perilaku (a philosophical basis for working with person who has emotional and/or behavioral disorders). Dalam proses re-edukasi, mengembalikan mentalitas lama ke dalam pembentukan mentalitas baru yang sesuai dengan kondisi normal lingkungan masyarakatnya ialah imperatif (Baedowi, 2012)..
Keterampilan belajar bukan keterampilan tunggal tetapi merupakan garis kontinum yang bermula dari titik awal kehidupan dan berakhir pada akhir hidup itu sendiri. Learning to learn (how to learn) tumbuh dari sinergi antara intelektual dan moral yang berekspresi dari hasil belajar otentik (actual outcomes). Anwar mengatakan bahwa belajar untuk tahu (learning to know) menjadi basis bagi belajar untuk dapat melakukan (learning to do); belajar untuk dapat melakukan merupakan basis bagi belajar untuk mandiri (learning to survive); belajar untuk mandiri merupakan basis bagi belajar untuk bekerja sama (learning to cooperate) (2006:5).
Tujuan akhir dari keterampilan belajar ialah dimilikinya kemampuan memecahkan masalah secara bertanggung jawab. Untuk mencapai tujuan akhir keterampilan belajar, maka lebih dahulu melalui dua tujuan yaitu: (1) mampu mengenali hakikat diri, potensi dan bakat-bakatnya dan (2) dapat berusaha sekuat tenaga untuk mengaktualisasi segenap potensi, mengekspresikan dan menyatakan dirinya seutuhnya denga cara menjadi dirinya sendiri (Anwar, 2006:9).
3) How to Create
Pendidikan kejuruan merupakan wahana dalam upaya memfasilitasi proses kreasi pencapaian sesuatu yang menghasilkan suatu barang, jasa, model atau prototipe yang bernilai tambah (added value) secara ekonomi, bukan sekedar hanya berperan sebagai konsumen atau sekedar sebagai user dari suatu produk yang lain dalam bidang yang relevan (Mukhadis, 2013:7). Untuk dapat memberikan nilai tambah tersebut, pendidikan harus mampu memfasilitasi sinergisitas keterampilan siswa (how to think dan how to learn) sebagai pendorong tumbuh-kembangnya kemampuan untuk berkreasi atau mencipta (how to create) baik secara individu, kelembagaan maupun industri bukan malah tertarik pada budaya mengkonsumsi.
Peradaban teknologi yang unggul suatu bangsa merupakan representasi dari kemampuan emulasi, dan bukannya sekedar kemampuan emitasi. Kemampuan emulasi merupakan prasyarat suatu individu, kelompok, masyarakat, bangsa atau negara untuk melakukan loncatan dalam pengembangan teknologi sebagai sarana pemecahan masalah dalam kehidupan. Wujud dari kemampuan ini adalah keunggulan dalam melakukan sinergi dari berbagai produk teknologi, berbagai informasi, berbagai jasa, dan berbagai sistem yang mutakhir, menjadi suatu sosok produk, sosok informasi, sosok sistem, dan dan sosok jasa yang lebih baru, memiliki nilai tambah dan memiliki keunggulan kompetitif.