Selasa, Oktober 17

4 Pilar Pendidikan UNESCO

UNESCO selaku badan PBB yang mengurus masalah pendidikan dan kebudayaan mencetuskan 4 pilar pendidikan, yaitu learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live togather.

Learning to know (Belajar mengetahui)
Dalam pilar ini, belajar dimaknai sebagai upaya hanya sebatas untuk mengetahui. Belajar ini termasuk dalam kategori belajar pada tingkat yang rendah, yakni belajar yang lebih menekankan pada ranah kognitif. Learning to know mengandung pengertian bahwa belajar itu pada dasarnya tidak hanya berorientasi kepada produk atau hasil belajar, akan tetapi juga harus berorientasi kepada proses belajar. Dengan proses belajar, siswa bukan hanya sadar akan apa yang harus dipelajari, akan tetapi juga memiliki kesadaran dan kemampuan bagaimana cara mempelajari yang harus dipelajari.
Learning to know memiliki pengertian bahwa ketika kita belajar kita akan menjadi tahu. Selain itu juga menyiratkan makna bahwa pendidik harus mampu berperan sebagai informator, organisator, motivator, director, inisiator, transmitter, fasilitator, mediator, dan evaluator bagi siswanya, sehingga peserta didik perlu dimotivasi agar timbul kebutuhan terhadap informasi, keterampilan hidup, dan sikap tertentu yang ingin dikuasainya.
Learning to know dilakukan dengan cara memadukan penguasaan terhadap suatu pengetahuan umum yang cukup luas dengan kesempatan untuk bekerja secara mendalam pada sejumlah kecil mata pelajaran. Dan learning to know ini mengandung prinsip berikut: 1) diarahkan untuk mampu mengembangkan ilmu dan terobosan teknologi dan merespon sumber informasi baru; 2) Memanfaatkan berbagai sumber pembelajaran; 3) network society; dan 4) learning to learn dan life long education.

Learning to do (Belajar berkarya)
Learning to do maksudnya setelah kita mengetahui hal-hal yang baru dari pembelajaran yang kita lakukan, kita bisa melakukan sesuatu karya atau bentuk pekerjaan nyata dari ilmu yang telah diserap. Learning to do mengupayakan pemberdayaan peserta didik agar mau dan mampu berbuat untuk memperkaya pengalaman belajarnya sehingga mampu menyesuaikan diri dan berpartisipasi dalam masyarakat. Pembelajaran ini menyiratkan bahwa siswa dilatih untuk sadar dan mampu melakukan suatu perbuatan atau tindakan produktif dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Peserta didik diajarkan untuk melakukan sesuatu dalam situasi konkrit yang tidak hanya terbatas pada penguasaan ketrampilan yang mekanitis melainkan juga terampil dalam berkomunikasi, bekerjasama dengan orang lain, mengelola dan mengatasi suatu konflik. Melalui pilar kedua ini, dimungkinkan mampu mencetak generasi muda yang cerdas dalam bekerja dan mempunyai kemampuan untuk berinovasi. Terkait dengan hal tersebut maka proses belajar-mengajar perlu didesain secara aplikatif agar keterlibatan peserta didik, baik fisik, mental dan emosionalnya dapat terakomodasi sehingga mencapai tujuan yang diharapkan.
Contoh : Ketika kita bisa mengetahui bahwa pekerjaan yang berhubungan dengan administrasi akan lebih menghabiskan banyak kertas dan pencarian datanya lama, maka kita bisa berkarya untuk menciptakan sistem informasi untuk mengelola data-data administrasi tersebut.

Learning to be (Belajar menjadi diri sendiri dan mengembangkan diri)
Learning to be mengandung pengertian bahwa belajar adalah membentuk manusia yang menjadi dirinya sendiri. Dengan kata lain, belajar untuk mengaktualisasikan dirinya sendiri sebagai individu dengan kepribadian yang memiliki tanggung jawab sebagai manusia. Belajar dalam konteks ini bertujuan untuk meningkatkan dan mengembangkan potensi peserta didik, sesuai dengan minat dan bakatnya atau tipe-tipe kecerdasannya (types of intelligence). Konsep learning to be, perlu dihayati oleh praktisi pendidikan untuk melatih siswa agar mampu memiliki rasa percaya diri (self confidence) yang tinggi. Kepercayaan merupakan modal utama bagi siswa untuk hidup dalam masyarakat. Dalam hubungan ini, pendidikan harus berhubungan dengan setiap aspek dari potensi pribadi yang berupa: mengingat, menalar, rasa estetis, kemampuan-kemampuan fisik, dan keterampilan-keterampilan berkomunikasi. Aspek-aspek learning to know dan learning to do mendukung usaha siswa meningkatkan kecerdasan dan mengembangkan keterampilan intelektual dirinya secara berkelanjutan.

Learning to live together (Belajar hidup bersama)
Pilar keempat ini memaknai belajar sebagai upaya agar peserta didik dapat hidup bersama dengan sesamanya secara damai untuk dapat bekerja sama. Dikaitkan dengan tipe-tipe kecerdasan, maka pilar keempat ini berupaya untuk menjadikan peserta didik memiliki kecerdasan sosial (social intelligence). Learning to live together maksudnya dengan kita mengetahui dan kita dapat melakukan sesuatu dari apa yang kita pelajari, selanjutnya kita dapat melakukannya untuk diri kita sendiri dan juga untuk orang lain yang ada di sekitar kita. Pembelajaran ini bertalian erat dengan pemberantasan sikap egoisme yang mengarah pada chauvinisme pada peserta didik sehingga melunturkan rasa kebersamaan dan harga-menghargai. Memahami, menghormati dan bekerja dengan orang lain, mengakui ketergantungan, hak dan tanggungjawab timbal balik yang melibatkan partisipasi aktif warga, tujuan bersama menuju kerekatan sosial, perdamaian dan semangat kerjasama demi kebaikan bersama. Sebab, dewasa ini sudah mulai banyak tertanam sikap-sikap egoisme pada diri tiap individu-individu.
Salah satu fungsi sekolah adalah tempat bersosialisasi, artinya mempersiapkan siswa untuk dapat hidup bermasyarakat. Situasi bermasyarakat hendaknya dikondisikan di lingkungan sekolah. Kebiasaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima, perlu ditumbuhkembangkan. Kondisi seperti inilah yang memungkinkan terjadinya “learning to live together”. Learning to live together yaitu proses pembelajaran yang memungkinkan peserta didik menghayati hubungan antar manusia secara intensif dan terus menerus untuk menghindarkan pertentangan ras/etnis, agama, suku, keyakinan politik, dan kepentingan ekonomi. Peningkatan pendidikan nilai kemanusiaan, moral, dan agama yang melandasi hubungan antar manusia.

Makna Keterampilan How To Think, How To Learn, dan How To Create dalam Pendidikan

Pendidikan kejuruan hadir sebagai wahana dalam upaya memfasilitasi berkembangnya kemampuan siswa dalam melakukan sinergi secara komperhensif dan produktif antara keterampilan how to think, how to learn, dan how to create untuk dapat berperan sebagai pencipta lapangan kerja (job creator) yang professional, pencari kerja (job seeker) yang kompetitif atau sebagai individu atau kelompok yang memiliki daya enduransi yang tinggi dalam berkompetisi (high degree pursuer) (Mukhadis, 2013:7-8).

Makna Keterampilan how to think, how to learn, dan how to create
1)        How to think
How to think merupakan keterampilan berpikir dalam melihat sebuah permasalahan dari berbagai sudut pandang. Keterampilan ini merupakan prasyarat bagi terbentuknya keunggulan kemampuan dalam mengidentifikasi, menganalisis, memahami dan menetapkan skala prioritas alternatif pemecahan masalah yang dihadapi secara efektif dan efisien (Mukhadis, 2009:226). How to think dapat dikerucutkan menjadi 3 pendekatan kemampuan berpikir yaitu kemampuan berpikir kritis (analitik)sintetik (kreatif) dan praktikal.
Berpikir kritis memiliki representasi sebagai keterampilan analisis dan evaluasi ide (Naqiyah, 2005). Keterampilan ini lebih berorientasi pada kemampuan menganalisis dan berpikir kritis terhadap suatu fenomena (masalah). Kemampuan berpikir sintetik merupakan kemampuan membangkitkan ide baru dan menarik, lebih berperan dalam penemuan terhadap alternatif pemecahan masalah yang belum dikenal sebelumnya (berpikir kreatif). Sedangkan kemampuan berpikir praktikal merupakan kemampuan menerjemahkan teori ke dalam praktek, dan merubah ide-ide abstrak ke arah kecakapan praktikal. Kemampuan praktikal juga mempunyai arti sebagai kemampuan melaksanakan alternatif pemecahan masalah yang telah ditemukan, dinilai khalayak, diberi masukan, dan bagaimana kita menyikapi terhadap masukan.

2)        How to Learn
Pendidikan kejuruan berfungsi sebagai wahana dalam upaya memfasilitasi berkembangnya proses belajar dan berbuat (learning by doing) dengan mengacu pada ritme dialektika sesuai bidang kejuruan yang ditekuni. Keterampilan dalam belajar (how to learn) menjadi sangat penting sebagai langkah dalam mencari, memanfaatkan dan mengembangkan informasi yang unggul.
Keterampilan tersebut ini direpresentasikan dalam kemampuan melakukan aktivitas learningunlearning, dan relearning (Harefa, 2010) yang berlangsung sepanjang waktu dimana berada dan bekerja. Karena itu, belajar (learning) akan mengajari seseorang untuk tidak pernah berhenti berpikir. Namun karena dialektika otak dan hati selalu terjadi, secara psikologis adakalanya manusia merasa puas dan merasa sudah menjadi seperti yang mereka harapkan. Pada posisi dan situasi itulah terjadi yang disebut sebagai unlearning.
Ketika otak merasa puas dan berhenti berpikir, manusia bisa saja terperosok ke dalam sebuah dunia lain sehingga dia bertindak tanpa memikirkan risiko dan akibat yang akan ditimbulkannya. Perilaku menyimpang merupakan gambaran bahwa manusia bisa mengalami fase unlearning. Secara ekstrem, gambaran perilaku menyimpang seperti teroris dan koruptor merupakan beberapa contoh bahwa manusia bisa terjebak ke dalam perilaku unlearning (Baedowi, 2012).
Namun jika hati seseorang dapat menuntun lagi kerja otak untuk mulai berpikir dan belajar kembali, fase semacam itu disebut relearning. Untuk kembali belajar (relearning), seseorang tidak hanya membutuhkan tuntunan hatinya, tetapi juga dukungan lingkungannya. Itulah sebabnya untuk kasus-kasus tertentu seperti para bekas teroris, diperlukan sebuah proses belajar kembali dengan cara memberi mereka dukungan untuk kembali kepada habitat dan masyarakat.
Dalam konteks belajar-mengajar, proses relearning juga sejalan dengan prinsip re-education, sebuah basis filosofis untuk bekerja dengan orang-orang yang mengalami gangguan, baik secara emosi maupun perilaku (a philosophical basis for working with person who has emotional and/or behavioral disorders). Dalam proses re-edukasi, mengembalikan mentalitas lama ke dalam pembentukan mentalitas baru yang sesuai dengan kondisi normal lingkungan masyarakatnya ialah imperatif  (Baedowi, 2012)..
Keterampilan belajar bukan keterampilan tunggal tetapi merupakan garis kontinum yang bermula dari titik awal kehidupan dan berakhir pada akhir hidup itu sendiri. Learning to learn (how to learn) tumbuh dari sinergi antara intelektual dan moral yang berekspresi dari hasil belajar otentik (actual outcomes). Anwar mengatakan bahwa belajar untuk tahu (learning to know) menjadi basis bagi belajar untuk dapat melakukan (learning to do); belajar untuk dapat melakukan merupakan basis bagi belajar untuk mandiri (learning to survive); belajar untuk mandiri merupakan basis bagi belajar untuk bekerja sama (learning to cooperate) (2006:5).
Tujuan akhir dari keterampilan belajar ialah dimilikinya kemampuan memecahkan masalah secara bertanggung jawab. Untuk mencapai tujuan akhir keterampilan belajar, maka lebih dahulu melalui dua tujuan yaitu: (1) mampu mengenali hakikat diri, potensi dan bakat-bakatnya dan (2) dapat berusaha sekuat tenaga untuk mengaktualisasi segenap potensi, mengekspresikan dan menyatakan dirinya seutuhnya denga cara menjadi dirinya sendiri (Anwar, 2006:9).

3)        How to Create
Pendidikan kejuruan merupakan wahana dalam upaya memfasilitasi proses kreasi pencapaian sesuatu yang menghasilkan suatu barang, jasa, model atau prototipe yang bernilai tambah (added value) secara ekonomi, bukan sekedar hanya berperan sebagai konsumen atau sekedar sebagai user dari suatu produk yang lain dalam bidang yang relevan (Mukhadis, 2013:7). Untuk dapat memberikan nilai tambah tersebut, pendidikan harus mampu memfasilitasi sinergisitas keterampilan siswa (how to think dan how to learn) sebagai pendorong tumbuh-kembangnya kemampuan untuk berkreasi atau mencipta (how to create) baik secara individu, kelembagaan maupun industri bukan malah tertarik pada budaya mengkonsumsi.
Peradaban teknologi yang unggul suatu bangsa merupakan representasi dari kemampuan emulasi, dan bukannya sekedar kemampuan emitasi. Kemampuan emulasi merupakan prasyarat suatu individu, kelompok, masyarakat, bangsa atau negara untuk melakukan loncatan dalam pengembangan teknologi sebagai sarana pemecahan masalah dalam kehidupan. Wujud dari kemampuan ini adalah keunggulan dalam melakukan sinergi dari berbagai produk teknologi, berbagai informasi, berbagai jasa, dan berbagai sistem yang mutakhir, menjadi suatu sosok produk, sosok informasi, sosok sistem, dan dan sosok jasa yang lebih baru, memiliki nilai tambah dan memiliki keunggulan kompetitif.

Senin, Desember 1

Video: Sepenggal Cerita Menjadi Pengajar Muda

Pengajar Muda adalah sebutan bagi relawan leadership and voluntery program yang diadakan oleh Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar (GIM) dan lebih dikenal dengan sebutan Indonesia Mengajar (IM). Setiap tahunnya IM melakukan seleksi dan mengirimkan 2 angkatan yaitu angkatan ganjil dan genap. Angkatan ganjil diisi 50-54 pengajar muda sedangkan angkatan genap disini 70-74 pengajar muda yang ditempatkan di pelosok-pelosok nusantara. Sebelum saya sharing pengalaman selama mengabdi, saya akan sampaikan profil singkat Indonesia Mengajar.



Sejarah Indonesia Mengajar

Gerakan Indonesia Mengajar diinspirasi proses panjang yang dibangun selama bertahun-tahun. Proses ini adalah gabungan dari: 1) Pelajaran dari berbagai generasi, 2) Perjalanan aktivitas pengabdian maupun interaksi dengan berbagai masyarakat, 3) Pengetahuan modern yang dipetik dari dunia akademik global.

Ide awal Indonesia Mengajar berasal dari Anies Baswedan. Pada dekade 1990-an, Anies adalah mahasiswa dan aktivis di Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia adalah Ketua Umum Senat Mahasiswa UGM dan terlibat di berbagai aktivitas kemahasiswaan. Pada masa itu, ia bergaul dan belajar banyak dari seorang mantan rektor UGM periode 1986-1990: Prof. Dr Koesnadi Hardjasoemantri (Pak Koes). Pak Koes, seorang keturunan ningrat dari Tasikmalaya, adalah eks Tentara Pelajar yang pasca-revolusi kemerdekaan menjadi mahasiswa di UGM yang baru berdiri di Jogja.

Lebih lanjut tentang tim Indonesia Mengajar »




Jejak Perjalanan sebagai Pengajar Muda

Menjadi Pengajar Muda membutuhkan proses panjang. Setelah terpilih melalui proses seleksi yang ketat, para kandidat akan dibina dengan proses pelatihan untuk mengokohkan pijakan dan mengasah nurani di manapun mereka bertugas nanti.

Fase 1 : Rekrutmen dan Seleksi
Untuk menjadi seorang Pengajar Muda, ada beberapa fase yang harus dilalui. Fase pertama adalah Fase Rekrutmen. Dalam fase ini, calon Pengajar Muda dihimbau untuk membuat akun terlebih dahulu dan kemudian mengisi serta mengirimkan aplikasi online tersebut pada saat periode rekrutmen. Aplikasi online ini merupakan pintu terdepan dari keseluruhan proses seleksi Pengajar Muda dimana di dalamnya terdapat beberapa bagian yang harus diisi, salah satunya adalah esai. Ceritakan dan tunjukkan passion, semangat, dan motivasi Anda yang kuat serta pengalaman pribadi yang dapat mendukung Anda untuk menjadi Pengajar Muda. Para kandidat yang lolos seleksi tahap I, akan dipanggil untuk mengikuti seleksi tahap II. Seleksi ini merupakan asesmen langsung yang terdiri dari wawancara dan beberapa tes lainnya yang akan dilaksanakan selama satu hari penuh. Seleksi dilaksanakan di beberapa kota seperti Jakarta, Yogyakarta, Surabaya dan Makassar (tentative). Selanjutnya, bagi yang lolos seleksi tahap II akan dipanggil untuk Tes Kesehatan. Bagi calon Pengajar Muda yang lolos hingga tahap akhir, akan mengikuti rangkaian berikutnya, yaitu Fase Pelatihan.




Fase 2 : Pelatihan
Pelatihan calon Pengajar Muda dilaksanakan secara intensif selama 7 minggu. Materi pelatihan tidak hanya mencakup keterampilan mengajar secara teori dan praktik, tetapi juga hard skill dan soft skill lain yang mendukung, seperti; keterampilan fisik, belajar kreatif, leadership skill, problem solving, adaptasi masyarakat, advokasi, health and safety dan sebagainya.






Fase 3 : Penempatan dan Penugasan
Setelah melewati fase pelatihan, calon Pengajar Muda dinyatakan resmi menjadi Pengajar Muda. Mereka akan bertugas di berbagai pelosok Indonesia selama setahun di sekolah dasar (dapat negeri atau swasta) yang ditentukan bersama dengan Dinas Pendidikan daerah. Proses pemberangkatan Pengajar Muda ke daerah masing-masing dilakukan secara kelompok per daerah, dan secara langsung setelah pelatihan berakhir.




Fase 4 : Pasca Penempatan
Setelah menyelesaikan tugas dalam memenuhi janji kemerdekaan dan menebar inspirasi selama setahun di daerah pelosok, para Pengajar Muda mendapatkan keleluasaan untuk melanjutkan rencana jangka panjang mereka.







Kisah Pengabdian Sebagai Pengajar Muda IV


Wahyu, pria kelahiran Kediri, 11 September 1989 ini adalah sarjana Pendidikan Teknik Informatika, Universitas Negeri Malang. Ia termasuk pribadi yang aktif berorganisasi, dimulai sejak duduk di bangku SMP sebagai pengurus dewan galang Pramuka dilanjutkan masa SMA sebagai Ketua Jurnalistik, pengurus OSIS, KIR dan Remas. Selama masa studi di UM, ia pernah dipercaya untuk memimpin Korp Asisten TEUM, Kadiv IT Workshop Elektro (WSE) dan sekbid penalaran Himpunan Mahasiswa Elektro. Saat ini dia tergabung dalam barisan Pengajar Muda Angkatan 4. Profil Diri Wahyu lebih lengkap.

Mendapat tugas penempatan di Kampung Sitoko, Desa Pasirhaur Cipanas-Lebak membuat Wahyu mendapatkan julukan PM Gunung Endut. Dengan nama lengkap Wahyu Nur Hidayat, Pria kelahiran Kediri, 11 September 1989 ini adalah sarjana Pendidikan Teknik Informatika, Universitas Negeri Malang (UM). Selain konsen dengan dunia organisasi, dia juga menyukai dunia olahraga. Hal ini ditunjukkannya dengan aktif mengikuti beberapa kompetisi futsal yang telah mengantarkan tim-nya memenangkan beberapa kejuaraan. Sempat pula mendalami olah fisik dan batin di 2 perguruan pencak silat. Pada akhir masa kuliahnya, pemuda yang haus akan kegiatan ini menginisiasi dan menggagas sebuah forum silaturahmi mahasiswa yang menitik beratkan kegiatannya pada olahraga badminton dengan nama PB Pendtium.



Sedangkan kecintaannya pada dunia pendidikan ditunjukkan melalui berbagai kegiatan upgrading yang melibatkannya sebagai trainer dan tutor. Tak heran jika pria yang sempat menjabat sebagai Ketua Litbang dan Kaprodi TI di SMK Kota Malang  ini pernah mendapatkan 2 dana pengabdian masyarakat DIKTI bidang pendidikan atas gagasan dan eksekusi program “One Teacher One Blog” dan “Javanese Tutoring System” yang mengantarkannya sebagai penyaji tingkat nasional. Ia juga memiliki pengalaman profesional bekerja di RS Ganesha Malang sebagai network administrator. Kesemuanya ini adalah pengalaman berharga dan pencapaian terbesar dalam hidupnya.




Bermodalkan bingkisan pengalamannya itu, akhirnya ia mendaftar diri sebagai kandidat PM ke Indonesia Mengajar (IM). Satu per satu tahap seleksi dilaluinya dengan baik dan sampailah pada saat sebuah email sampai menyatakan dirinya lolos. Di tengah kegiatannya sebagai seorang mahasiswa Mastering Vocational Education dan posisinya di instansi kerja yang sudah strategis, tentunya berita kelolosannya ini membuahkan sebuah pilihan besar antara mengabdi dan meneruskan title mahasiswa beserta pekerjaannya. Namun, tentunya dengan bantuan dan dorongan orang tua, rekan kerja serta dosen, dia mampu mencatatkan loncatan dalam hidupnya. 




Setahun mengajar, seumur hidup menginspirasi...

Ya!! Kehormatan untuk mengabdi dan melunasi janji kemerdekaan; Mencerdaskan kehidupan bangsa telah dipilih. Setahun di Lebak, dia beserta 5 PM lainnya berkomitmen untuk memberikan yang terbaik dan melebur menjadi satu untuk menjadi bagian dari perubahan. 


Video Dokumentasi
Kompilasi Pengalaman Dalam Tangkapan Lensa



Kompilasi Profil Foto Pengajar Muda Angkatan 4



Selasa, Oktober 14

Peran dan Fungsi Akademi Komunitas (AK)

Pengangguran merupakan salah satu masalah yang menjadi konsen pemerintah saat ini. Badan Perencanaan Pembagunan Nasional (Bappenas) menyatakan bahwa jumlah pengangguran muda di Indonesia adalah no. 1 terbesar di Asia Pasifik yang selanjutnya diikuti Sri Lanka di urutan ke-2 dan Filipina di urutan ke-3. Melihat fenomena ini, berdasarkan amanat UU No. 12 Tahun 2012, akademi komunitas mengambil peran yang sangat besar. Sebagai suatu jenis pendidikan vokasi setingkat diploma satu dan/atau diploma dua yang berbasis keunggulan lokal atau untuk memenuhi kebutuhan khusus, sumbangsih pendidikan kejuruan dalam mendorong tumbuhnya Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan memperluas akses pendidikan tinggi sangat diandalkan.

Akademi komunitas (AK) sendiri merupakan bentuk pengembangan dari program yang telah ada sebelumnya yaitu community collage (CC) yang pada tahun 2000-2010 terdapat di 105 SMK, Universitas dan Poltek. CC kemudian mengalami transformasi program menjadi Pendidikan Vokasi Berkelanjutan (PVB) pada tahun 2010-2012 yang berada di 42 Perguruan Tinggi dengan 300 sub kampus (SMK dan Industri) berpola PJJ. Di tahun 2012, barulah nama AK dimunculkan dengan model penyelenggaraannya yang dilaksanakan di daerah (kabupaten/kota) dengan maksud agar biaya pendidikan tinggi dapat ditekan karena peserta didik tidak harus pergi terlalu jauh.

Posisi AK menjadi sangat strategis karena berdasarkan amanat UU No. 12 Tahun 2012, AK merupakan pendidikan vokasi yang diperuntukkan bagi lulusan pendidikan menengah atau sederajat untuk mengembangkan keterampilan dan penalaran dalam penerapan Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi. AK merupakan bagian proses peningkatan pertmubuhan ekonomi bangsa melalui peningkatan tenaga terampil yang mampu menggerakkan roda perekonomian wilayah. Adapun indikator kinerja AK diantaranya: jumlah tenaga terampil yang disediakan dan terserap di industri dan mandiri, jumlah penghasil produk barang dan jasa, dan jumlah kerjasama dengan para pengguna dan industri.

Pada tahun 2012 berdasarkan Kepmendikbud No. 161/P/2012 telah ditetapkan 20 AK dalam bentuk PDD (Prodi Di luar Domisili) dari 12 Perguruan Tinggi (PT) penyelenggara. Salah satu PT yang menjadi penyelenggara adalah Politeknik Negeri Malang yang menyelenggarakan PDD di Kabupaten Bojonegoro dan Kota Blitar. Program studi yang dibuka di Kabupaten Bojonegoro adalah 3 prodi, yaitu komputer akutansi, teknik informatika dan teknik otomotif, sedangkan di Kota Blitar juga terdapat 3 prodi yaitu teknologi informasi, multimedia dan administrasi perkantoran.

Sebagai sebuah program pendidikan yang baru, AK seharusnya memperhatikan tuntutan pasar (market driven) dimana segala bentuk pendidikan harus berorientasi pada keterbutuhan keterampilan di lapangan. Hal ini bersentuhan langsung dengan pengelolaan pembelajaran di AK. Proses pembelajaran menjadi konsen utama karena sesuai dengan jalurnya, AK harus mampu memberikan sajian pembelajaran dengan porsentase 60%-70% teori dan 30%-40% praktek.

Kamis, Oktober 2

Manajemen Mutu Laboratorium Pendidikan Kejuruan

Kebanyakan laboratorium sudah melakukan kegiatan pengelolaan yang terdiri dari komponen-komponen dari sistem manajemen mutu. Namun tidak semua kegiatan manajemen yang diperlukan dipraktekkan di setiap laboratorium dan kegiatan tersebut belum mempunyai suatu standar sehingga penerapannya bisa berbeda-beda. Hal ini menimbulka suatu variasi dalam praktek manajemen yang menyebabkan penggunaan sumber daya tidak efektif. Oleh karena itulah diperlukan suatu standarisasi atau keseragaman. Standar Manual Mutu (SMM) merupakan suatu keseragaman, cara yang sistematis -setiap laboratorium- untuk memastikan bahwa persyaratan sedang terus berkesinambungan setiap kali dan setiap hari.

Pada SMM, hal yang dilakukan untuk menerapkan standarisasi adalah analisa, proses kerja spesifik dan prosedur untuk penerapannya. Selanjutnya, laboratorium harus menentukan tanggung jawab dan hubungan pelaporan dari semua orang yang terlibat dalam layanan baru. Kemudian, perlu untuk mengidentifikasi pelanggan potensial dan menentukan kebutuhan dan harapan mereka untuk layanan baru. Selanjutnya, rekam data meliputi fasilitas yang memadai, orang, peralatan, dan bahan. Semua yang berhubungan dengan lagkah tersebut perlu dikembangkan, divalidas, dan didokumentasikan. Staf perlu dilatih dan kompetensi awal mereka dinilai. Laboratorium perlu untuk menentukan cara-cara yang hasil pasien dan laporan akan dikelola untuk layanan baru. Ada perlu menentukan alat laboratorium untuk menangkap pengaduan dan ketidaksesuaian untuk layanan baru. Laboratorium perlu untuk menentukan bagaimana akan mengukur kinerjanya untuk menentukan apakah tujuan, sasaran, dan harapan pelanggan sedang bertemu untuk layanan baru. Laboratorium perlu untuk menentukan cara-cara yang kualitas laporan akan disiapkan secara berkala untuk layanan baru. Terakhir, laboratorium perlu untuk menentukan bagaimana manajemen akan meninjau dan mengidentifikasi peluang untuk perbaikan proses dan memprioritaskan dan memulai kegiatan perbaikan. Jika kesemuanya sudah terpenuhi dan terlewati, maka pengujian layanan baru yang sudah terstandarisasi bisa dimulai. 

Salah satu cara untuk menggambarkan ini urutan kejadian penting manajerial adalah dengan sedikit memodifikasi model SMM, dimana standar mutu terbagi menjadi tiga kelompok: (1) laboratorium, (2) bekerja, dan (3) pengukuran. Laboratorium terdiri dari komponen struktur organisasi yang jelas, fasilitas dan perlengkapan keselamatan, personil, peralatan, pembelian dan persediaan. Pada kelompok bekerja –eksekusi- terdapat komponen proses kontrol, pembuatan catatan dan pendokumentasian administrasi dan kegiatan serta manajemen informasi dalam pengolahan data masukan. Sedangkan penilaian keberhasilannya dilihat dari manajemen kejadian, audit internal dan eksternal, pelayanan pelanggan dan proses peningkatan mutu. Jantung SMM laboratorium adalah kebijakan, proses, prosedur dan dokumen sehingga segala kegiatan yang dilakukan harus terekam dengan baik.

Pengembangan Kurikulum Pendidikan Teknik dan Kejuruan (Vocational dan Technical Education)

Hasil Resume Buku

Curriculum Development in Vocational and Technical Education
Oleh Wahyu Nur H

Kurikulum dapat didefinisikan sebagai akumulasi dari kegiatan pembelajaran dan pengalaman di bawah naungan sekolah. Untuk pengembang kurikulum diberikan dua konsep pendukung tambahan. Pertama, pusat dari kurikulum adalah siswa. Konsep pendukung kedua berkaitan dengan luasnya pengalaman dan kegiatan yang berhubungan dengan kurikulum belajar. Pada definisi kurikulum yang lebih luas, harus diperhatikan bagaimana kegiatan belajar dan pengalaman harus berhubungan dengan studi yang telah dipilih.


Kurikulum merupakan berbagai pengalaman siswa di lingkungan sekolah, instruksi berfokus pada penyampaian pengalaman-pengalaman. Lebih khusus, instruksi dapat dianggap sebagai interaksi yang direncanakan antara instruktur dan siswa yang (semoga) menghasilkan pembelajaran yang diinginkan. Sebuah deskripsi singkat dari pengembangan kurikulum dan pengembangan instruksional harus membantu dalam mengklarifikasi perbedaan-perbedaan pendapat. Pengembangan kurikulum berfokus terutama pada konten dan bidang yang terkait yang meliputi makro atau kegiatan berbasis luas yang berdampak pada program yang luas, kursus, dan pengalaman siswa. Bahkan, kurikulum harus mendefinisikan misi institusi dan tujuan. Kegiatan kurikulum biasanya dilakukan sebelum dan pada tingkat lebih tinggi dari pengembangan instruksional. Sebaliknya, pengembangan instruksional lebih merupakan kegiatan mikro yang dibangun pada pengembangan kurikulum melalui perencanaan dan persiapan pengalaman belajar tertentu dalam program.

A.  KARAKTERISTIK KURIKULUM KEJURUAN DAN TEKNIK
Meskipun pendidikan kejuruan dan teknik termasuk dalam keseluruhan kerangka pendidikan, kurikulum kejuruan dan teknik memiliki karakteristik tertentu yang membedakannya dari pendidikan lainnya. Pembeda kurikulum pendidikan kejuruan dengan pendidikan lainnya dilihat dari:

  1. Orientasi: Kurikulum kejuruan dan teknik berorientasi pada proses (pengalaman dan aktifitas dalam lingkungan sekolah) dan produk (hasil dari proses pengalaman dan aktifitas siswa).
  2. Justifikasi: Kurikulum kejuruan dan teknik dibuat dan dikembangkan berdasarkan identifikasi kebutuhan  kerja dan sumber daya yang tersedia di daerah tertentu.
  3. Fokus: Tidak  seperti kurikulum pendidikan lainnya, kurikulum pendidikan kejuruan diidentifikasikan menurut kebutuhan di daerah tertentu. Lebih ditekankan kepada kebutuhan pencarian tenaga kerja di daerah tersebut, atau lapangan pekerjaan yang sedang dibutuhkan. Dan diharapkan mendapatkan pekerjaan setelah lulus dan mengisi kekosongan lapangan pekerjaan.
  4. Standar keberhasilan di sekolah: Pelajar akan diberi tugas dan kegiatan oleh instruktur dalam pembelajarannya yang akan berguna untuk dunia kerja.
  5. Standar keberhasilan setelah sekolah: Selain dinilai berhasil dalam melanjutkan ke jenjang sekolah lebih tinggi, mantan siswa SMK harus menunjukkan keberhasilan mereka dalam dunia kerja. Karena lulusan SMK sudah mendapatkan pembelajaran lebih mendalam pada suatu kompetensi keahlian daripada lulusan dari sekolah umum.
  6. Responsif: Setiap perkembangan baru dalam berbagai bidang harus dimasukkan ke kurikulum sehingga lulusan SMK dapat bersaing dalam pekerjaan dan mereka akan mendapat nilai tambah karena sudah pernah magang.
  7. Logistik: Menyatukan  fasilitas yang ada dalam satu inventaris yang di atur penataan dan perawatannya. Menyediakan laboratorium untuk penempatan inventaris dan pelatihan.
  8. Biaya: Biaya yang dikeluarkan untuk pendidikan kejuruan lebih besar daripada pendidikan lain. Beban biaya tergantung dari pembelian, perawatan, pemeliharaan, penggantian peralatan, dll.


B.   SISTEM TERPADU KURIKULUM PENDIDIKAN KEJURUAN 
Fokus utama dari Sistem Terpadu bagi Kurikulum Pendidikan Kejuruan adalah pengelompokan isi kurikulum inti yaitu, teknis dan aplikasi, dan pengelompokan isi kurikulum khusus yaitu, teknis dan aplikasi. Kinerja Berbasis Desain Instruksional. Sistem meliputi tujuh komponen, yang masing-masing memberikan kontribusi terhadap perkembangan instruksi bermakna. Satu output komponen menjadi masukan untuk komponen berikutnya, dengan demikian manfaat kumulatif berasal yang mengambil bentuk peningkatan kemampuan peserta didik.

Model Kurikulum Tematik menekankan penciptaan kurikulum yang mempertemukan pengalaman belajar seputar tema mencakup dan domi¬nan. Dalam desain kurikulum ini, "semua aspek" dapat berfungsi sebagai strategi yang berguna untuk memastikan bahwa tema termasuk pengalaman belajar dalam berbagai industri dan bidang, kekhawatiran, masalah, dan pengetahuan dan keterampilan teknologi.

C.   STRATEGI PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Keputusan dibagi menjadi 2 macam yaitu keputusan kebijakan dan keputusan operasional. Keputusan kebijakan terdiri dari penetapan saran, tujuan pendidikan, perumusan berbagai prosedur dan berbagai strategi pelaksanaan pendidikan. Sedangkan keputusan operasional berupa keputusan yang tertuang dalam administrasi supervisi, evaluasi, pengembangan kurikulum, penerapan kurikulum dan administrasi evaluasi kurikulum.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengambilan keputu-san tingkat satuan pendidikan antara lain:

  1. Sekolah mengacu kepada kebijakan-kebijakan nasional, provinsi, dan kota/kabupaten.
  2. Merumuskan kebijakan-kebijakan tambahan yang berkaitan dengan ciri khas daerah dengan cacatan tidak bertentangan dengan kebijakan nasional.
  3. Dalam penetapan kebijakan secara yuridis, sekolah dapat memilih dan menetapkan sendiri pengembangan kurikulum, seperti kurikulum muatan local dan dapat pula bekerja sama dengan dunia usaha/industri (DU/DI).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan diantaranya: (1) keputusan tidak hanya mempertimbangkan aspek ekonomi, tetapi juga harus mempertimbangkan pemikiran yang harus dimiliki oleh pihak yang terkait dengan proses pendidikan; (2) pemikiran dari siswa, pandangan dari guru, staf, lembaga pendidikan, tokoh masyrakat, dan yang paling penting adalah pemikiran yang dimiliki oleh pengambil keputusan; dan (3) jika pengambil keputusan tidak memberikan pemikiran dan pengaruh yang mereka miliki, maka keputusan yang diambil secara tidak sadar dibuat semata-mata atas perasaan pengambil keputusan dengan sedikit atau tanpa kepedulian terhadap orang lain yang akan terpengaruh oleh keputusan tersebut.

D.   PENILAIAN PROGRAM PENDIDIKAN KEJURUAN MODERN DAN TEKNIK PROGRAM PENDIDIKAN

  1. Standarisasi Test: Salah satu pendekatan untuk menilai minat kerja dari sekelompok besar siswa adalah menyamakan standar tes yang digunakan. Hal ini sangat membantu jika beberapa tingkatan kelas yang berbeda yang akan diamati. Tes tersebut juga dapat digunakan untuk alat yang efektif dalam perencanaan kurikulum.
  2. Standart Test Bakat: Tes bakat didapatkan dari kemampuan siswa untuk belajar dari buku atau tugas-tugas yang diperlukan di sekolah. Beberapa tes bakat yang dapat diberikan adalah tes kematangan mental, tes kemampuan mental, dan tes kecerdasan. 
  3. Standar Tes Prestasi: Tes prestasi mengukur hasil belajar siswa dalam suatu sekolah, sedangkan tes bakat lebih banyak digunakan untuk memprediksi kinerja siswa untuk kedepannya.

Selasa, September 30

Perbedaan Simpulan dan Saran

Simpulan merupakan garis merah atas hasil penelitian dan memiliki substansi konseptual yang koheren dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian. Kemudian peneliti bisa menambahkan konsep yang masih di dalam lingkup masalah yang diteliti berupa saran. Saran bersifat sebagiai substansi tambahan solusi positif mengenai masalah yang diteliti. Dengan demikian, simpulan lebih bersifat menarik garis besar mengenai analisis yang telah dilakukan penenliti, sedangkan saran adalah konsep-konsep tambahan yang ditawarkan peneliti yang masih di dalam lingkup masalah yang diteliti.

Perbedaan Latar belakang dan Kajian Pustaka

Oleh Wahyu Nur H      

      Latar belakang merupakan pengembangan atas masalah yang mucul di dalam lingkungan peneliti yang kemudian dikuatkan dengan data-data empirik sehingga dapat digunakan sebagai pijakan yang kokoh oleh peneliti untuk melakukan penelitian dan melakukan penguraian lebih lanjut masalah yang ada melalui kajian pustaka. Dengan demikian latar belakang merupakan penguat argumen peneliti atas masalah yang akan diteliti dari segi kontekstual (kondisi lapangan) dan kajian pustaka merupakan penguat argumen peneliti atas masalah yang akan diteliti dari segi teoritik.

Perbedaan Antara Masalah dan Hipotesis

Oleh Wahyu Nur H

Kegiatan penelitian dimulai dengan mengidentifikasi masalah yang penting (esensial), hangat (aktual), dan mendesak (krusial) Masalah merupakan pondasi dari suatu penelitian. Masalah merupakan fenomena kontekstual atau nyata yang muncul disekitar peneliti dan diungkapkan dengan kalimat tanya. Kemudian dari masalah yang muncul peneliti bisa melakukan perumusan logis dan memunculkan variabel-variabel yang membentuk masalah tersebut. Untuk menguatkan konsep, peneliti harus mengkaji setiap variabel tersebut secara teoritik dan empirik di dalam kajian pustaka. Setelah menemukan benang merah antara kondisi nyata di lapangan dengan konsep atau teori yang ada maka peniliti tersebut bisa menyusun hipotesis yang kemudian untuk diuji kebenarannya. Dengan demikian posisi masalah dan hipotesis sangat berbeda dan bisa dikatakan bahwa masalah lebih dulu ada daripada hipotesis.

Contoh Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Pengembangan

Oleh: Wahyu Nur H

Setelah sebelumnya diuraikan tentang Perbedaan penelitian kuantitatif, Kualitatif dan Pengembangan, pada kesempatan kali ini akan saya ulas perbedaannya melalui contohnya ditinjau dari 5 dimensi.

Penelitian Kuantitatif:
  • Judul: Hubungan Kesiapan Prakerin, Lama Waktu Prakerin, Kesesuaian Tepat Prakerin dan Partisipasi DU/DI dengan Hasil Prakerin Kompetensi Keahlian TKJ di SMK Kota Batu. (Sumber: perpustakaan Universitas Negeri Malang, tesis tidak diterbitkan)
  • Dimensi tujuan: tujuan inti penelitian tersebut adalah mencari hubungan serta sumbangan efektif kesiapan prakerin, lama waktu prakerin, kesesuaian tempat prakerin dengan hasil prakerin siswa kompetensi TKJ di SMK Kota Batu.
  • Dimensi desain: desain inti dari penelitian tersebut adalah menguji hipotesis bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kesiapan prakerin, lama waktu prakerin, kesesuaian tempat prakerin dengan hasil prakerin siswa secara statistik.
  • Dimensi proses: proses diawali dengan munculnya masalah mengenai pelaksanaan prakerin mulai dari kesiapan prakerin, lama waktu dan kesesuaian tempat (link and match) prakerin dengan hasil prakerin siswa. Dengan menggunakan berbagai instrumen, peneliti mengambil data yang kemudian melakukan analisa mengenai hubungan antar setiap variabel bebas dengan variabel terikat dan keseluruhan variabel bebas dengan variabel terikat. Selanjutnya dianalisis menggunakan hukum statistik yag berlaku dan hasil perhitunga tersebut menjadi acuan pengambilan kesimpulan.
  • Dimensi hasil: hasil penelitian bersifat makro karena data diperoleh dari responden yang telah disampling secara acak dan dapat digeneralisasikan kepada populasi yaitu seluruh siswa SMK di Kota Batu.
  • Dimensi manfaat: dengan dihasilkannya suatu kesimpulan yang sifatnya makro, maka hasil dari penelitian ini dapat digeneralisasikan pada objek yang lebih luas dan dapat menjadi sari rekomendasi terkait variabel-variabel yang sedang dibahas.


Penelitian Kualitatif:
  • Judul: Keterkaitan dan Kepadanan Pengelolaan Program Pembelajaran di SMK dengan Kebutuhan Dunia Industri (Studi kasus di STMN 3 dan STMN 5 Kota Madya Bandung). (Sumber: repository.upi.edu).
  • Dimensi tujuan: tujuan inti penelitian tersebut adalah mengetahui dan mempelajari pengelolaan program pendidikan di STM bangunan dalam memberikan jawaban terhadap tuntutan kesempatan kerja di dunia industri.
  • Dimensi desain: desain inti dari penelitian tersebut adalah mencari pola bagaimana partisipasi instansi dunia usaha/industri terkait dalam memberikan layanan terhadap peningkatan mutu pengelolaan program pembelajaran Sekolah Menengah Kejuruan khususnya STM bangunan.
  • Dimensi proses: penelitian ini menuntut suatu eksplorasi untuk memahami dan menjelaskan masalah melalui interaksi komunikasi yang intensif dengan sumber data. Setelah menentukan populasi yang akan diteliti, maka peneliti melakukan upaya penggalian data melalui metode dokumentasi, wawancara dan observasi secara langsung. Data yang telah didapat kemudian diverifikasi dan dilakukan pemeriksaan ulang yang kemudian dianalisis dan diintepretasikan sehingga dapat diambil suatu kesimpulan.
  • Dimensi hasil: hasil yang diperoleh mengarah pada kesimpulan khusus mengenai hubungan/partnership antara STMN 3 dan STMN 5 Kota Madya Bandung dengan beberapa DU/DI rekanan.
  • Dimensi manfaat: dengan spesifiknya hasil yang ditemukan, maka segi manfaat yang dituangkan dalam rekomendasi lebih diarahkan untuk DU/DI rekanan dan sekolah yang dimaksudkan sebagai objek penelitian.


Penelitian Pengembangan:
  •  Judul: Pengembangan Model Pembelajaran Blended Learning Untuk Siswa Kelas XI Kompetensi Keahlian RPL di SMKN 6 Malang Pada Mata Pelajaran Produktif. (Sumber: perpustakaan Universitas Negeri Malang, tesis tidak diterbitkan).
  • Dimensi tujuan: tujuan inti penelitian ini mengembangkan model pembelajaran Blended Learning untuk siswa SMK khususnya yang sedang melaksanakan kegiatan praktek industri pada mata pelajaran produktif, standar kompetensi “membuat halaman web dinamis tingkat dasar”.
  • Dimensi desain: model pengembangan yang dianut menggunakan model Dick and Carey yang memiliki 9 tahap.
  • Dimensi proses: proses diawali dengan adanya masalah mengenai rendahnya hasil belajar siswa khususnya siswa yang sedang melaksanakan prakerin, dimana siswa berada di industri dan tidak dapat melakukan kegiatan pembelajaran di sekolah. Model pembelajaran yang dikembangkan dapat memfasilitasi siswa untuk tetap dapat melaksanakan kegiatan pembelajaran, meskipun siswa berada di luar lingkungan sekolah. Kelemahan-kelemahan model pelaksanaan pembelajaran di lapangan akhirnya diperbaiki oleh peneliti melalui produk yang dihasilkan oleh peneliti berupa kurikulum versi peneliti yang telah diujicobakan.
  • Dimensi hasil: berdasarkan analisis masalah yang komprehensif, dihasilkanlah model pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan yang hadir sebagai solusi pembelajaran di sekolah tersebut.
  • Dimensi manfaat: secara otomatis manfaat dari penelitian ini terbatas pada skala objek penelitian yaitu siswa kelas XI kompetensi keahlian Rekayasa Perangkat Lunak (RPL) di SMKN 6 Malang.

Perbedaan antara Penelitian Kuantitaif, Kualitatif, dan Pengembangan

Oleh Wahyu Nur H

Secara umum, jenis metodologi penelitian dibedakan menjadi 3, yaitu kuatitatif, kualitatif, dan pengembangan (Research and Development). Pada kesempatan kali ini saya akan menguraikan perbedaan dari ketiga jenis penelitian tersebut ditinjau dari dimensi tujuan, desain, proses, hasil, dan dimensi manfaat.


a.     Dimensi tujuan:
  1. Tujuan dari penelitian kuantitatif antara lain: (a) menunjukkan adanya hubungan antar variabel, (b) menguji teori, dan (c) mencari generalisasi yang mempunyai nilai prediktif.
  2. Tujuan dari penelitian kualitatif antara lain: (a) menemukan hubungan pola yang bersifat interaktif -tidak terlihat dengan jelas posisi dari variabel dependen dan independen-, (b) menemukan teori, (c) menggambarkan realitas yang kompleks, dan (d) memperoleh pemahaman makna.
  3. Tujuan dari penelitian pengembangan antara lain: (a) menghasilkan produk; dan (b) menguji keefektifan suatu produk. Kedua tujuan tersebut bisa bersifat kesatuan atau parsial. Bersifat kesatuan artinya peneliti bisa menghasilkan produk sekaligus menguji keefektifan dari produk yang dihasilkan. Secara parsial memiliki arti bahwa peneliti bisa memilih salah satu dari kedua tujuan tersebut, yaitu menghasilkan poduk tanpa harus melakukan uji keefektifan atau menguji keefektifan suatu produk yang telah dihasilkan peneliti lain.


b.     Dimensi desain:
  1. Desain dari penelitian kuantitatif antara lain: (a) spesifik, jelas, dan rinci; (b) ditentukan secara mantap sejak awal; (c) menjadi pedoman langkah demi langkah.
  2. Desain dari penelitian kualitaif antara lain: (a) umum; (b) fleksibel; (c) berkembang dan muncul di dalam proses penelitian; dan (d) mengedepankan konstruksi dari teori daripada pengujian teori.
  3. Desain dari penelitian pengembangan antara lain: (a) memerlukan analisis kebutuhan; (b) melakukan uji produk; (c) long live product evaluation (evaluasi produk bersifat sepanjang hayat), hal ini dimaksudkan pada penyesuaian perkembangan produk dengan revisi.


c.     Dimensi proses:

Berbicara penelitian pendidikan, tidak bisa dipisahkan dari penelitian kuantitatif dan kualitatif. Creswell (2012:12) menunjukkan dua jalur pendekatan yang berbeda dari kedua penelitian ini seperti yang ditunjukkan pada Gambar berikut. 


Pendekatan proses penelitian kuatitatif dan kualitatif (Sumber: Creswell, 2012:12)

  1. Proses dari penelitian kuantitaif selalu diawali dengan permasalahan yang jelas dan diurai secara empirik dan teoritik (studi pendahuluan/ preliminary study). Secara umum, proses penelitian kuantitatif antara lain: (a) Sumber masalah (empiris dan teoritis), (b) rumusan masalah, (c) pengajuan hipotesis, (d) pendugaan terhadap hubungan antar variabel, (e) menyusun instrument penelitian, (f) mengumpulkan dan menganalisa data, (g) penemuan sesuai,  hipotesis, dan (h) kesimpulan
  2. Proses dari penelitian kualitatif tidak diawali dengan permasalahan yang jelas sehingga peneliti harus melakukan pengamatan-pengamatan secara umum atau kasar terhadap obyek yang akan diteliti secara berulang-ulang (proses ini disebut sebagai tahap deskripsi). Berikut adalah proses penelitian kualitatif: (a) tahap deskriptif (memasuki konteks sosial), (b) tahap reduksi (menentukan fokus: memilih diantara yang telah dideskripsikan, (c) tahap seleksi (mengurai fokus : menjadi komponen yang lebih rinci), (d) proses memperoleh data dilakukan secara sirkular dan berulang-ulang dengan berbagai cara dan dari berbagai sumber, (e) proses analisa dan intepretasi data, dan (f) menarik kesimpulan.
  3. Proses penelitian pengembangan diawali dengan potensi atau masalah yang muncul di lingkungan peneliti, kemudian peneliti menetapkan produk apa yang akan dihasilkan sebagai solusi atas masalah tersebut. Merujuk pada Sugiyono (2010:408), tahap-tahap penelitian pengembangan diantaranya: Adapun langkah-langkah penelitian media yang digunakan adalah sebagai berikut (a) potensi masalah, (b) pengumpulan data, (c) desain produk, (d) validasi desain, (e) revisi desain, (f) uji coba produk, (g) revisi produk, (h) uji coba pemakaian, (i) revisi produk, dan (j) produksi masal.
d.         Dimensi hasil:
  1.     Hasil penelitian kuantitatif hasil adalah berupa jawaban berupa simpulan atas rumusan masalah yang didapat dari pengujian hipotesis yang telah dirumuskan.
  2.     Hasil penelitian kualitatif tidak hanya menghasilkan data atau informasi yang sulit dicari melalui metode kuantitatif, tetapi juga menghasilkan informasi-informasi yang bermakna, bahkan menghasilkan hipotesis atau ilmu baru yang dapat digunakan untuk membantu memecahkan masalah dan meningkatkan taraf hidup manusia. Hasil penelitian akan dapat ditemukan oleh peneliti lain, asal sasaran, masalah, pendekatan, metode, rancangan dan latar relatifnya sama (Suparlan, 1994) dalam Mukhadis (2013:81)
  3.     Hasil penelitian pengembangan adalah berupa produk yang telah teruji dan layak untuk diproduksi secara masal.


e.        Dimensi manfaat:
  1.     Manfaat dari penelitian kuantitatif lebih bersifat makro, karena hasil dari penelitian atas sampel dapat digeneralisasikan kepada populasi.
  2.     Manfaat dari penelitian kualitatif lebih bersifat mikro, hasil dari penelitian hanya bisa diberlakukan untuk lingkup yang diteliti dan memiliki tranferability terhadap kasus yang benar-benar serupa dengan obyek yang diteliti.
  3.     Manfaat dari penelitian pengembangan memiliki sifat sama dengan penelitian kualitatif dan tergantung terhadap cakupan masalah yang sedang “diobati”. Semakin luas cakupan wilayah penelitian maka manfaat dari hasil penelitian (produk) juga dapat diterapkan di wilayah yang luas.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More