Oleh Prof Ir Ika Pria Utama MSc PhD CEng FRINA
Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)
Program link and match antara perguruan tinggi dan dunia industri sudah lama dicanangkan. Pada masa Menteri Pendidikan Dr Wardiman Djojonegoro, program ini diharapkan mampu menggairahkan kerja sama antara perguruan tinggi dan industri.
Apalagi saat itu Prof BJ Habibie juga menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi yang sangat antusias mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan industri sebagai salah satu penggerak utama pertumbuhan ekonomi masa depan.
Sayang, program ini tidak berjalan mulus, kadang muncul kadang hilang, walau lebih sering hilangnya. Dunia industri yang diharapkan berperan banyak sepertinya ragu-ragu mengambil peran. Alhasil, timbullah pernyataan mendasar bahwa lulusan perguruan tinggi (terutama program S-1) tidak siap bekerja.
Untuk menjawab tantangan pasar kerja, program pembinaan mahasiswa dimasukkan ke dalam kurikulum. Salah satu program yang dimaksud adalah kerja praktik (internship) dan belakangan disusul dengan program magang dan cooperative-education (co-op).
Program Kerja Praktik
Program ini menjadi pilihan menarik bagi kalangan perguruan tinggi atau fakultas keteknikan. Program yang umumnya dijalankan pada semester-semester akhir, pada semester 7-8 dari program studi yang didesain selama 8 semester atau 4 tahun, dimaksudkan untuk memberikan bekal kepada mahasiswa agar mendapatkan pengetahuan langsung tentang dunia industri. Program ini memiliki bobot 1-2 SKS yang setara dengan masa praktik selama 2-4 bulan di dunia industri.
Setiap mahasiswa peserta program yang wajib ini dibimbing seorang dosen pembina yang ditunjuk di dunia industri atau perusahaan. Selama kegiatan berlangsung, mahasiswa diberikan kesempatan belajar dan mengenal proses-proses industri sesuai bidang studinya masing-masing. Akhir dari program ini adalah pembuatan laporan kerja praktik dan ujian oral oleh dosen pembimbing. Dalam beberapa kejadian, pembimbing di perusahaan juga dapat menguji peserta kerja praktik.
Pada awalnya, program ini dipandang sangat menarik dan jumlah peguruan tinggi yang terlibat makin meningkat. Akan tetapi, pada tahun-tahun selanjutnya kenyataan ini tidak diikuti dengan pertumbuhan dunia industri yang positif dan belakangan diperparah dengan adanya krisis ekonomi sehingga dunia industri mengalami kesulitan menampung seluruh peserta kerja praktik.
Pada akhirnya, kerja praktik ini mirip dengan kegiatan kunjungan lapangan pada semester-semester awal sehingga tujuan semula program ini tidak tercapai dan gugatan bahwa mahasiswa S-1 tidak siap bekerja, kembali muncul.
Program Magang dan Co-Op
Bentuk lain dan merupakan pengembangan lebih lanjut program kerja praktik program magang atau cooperative education (co-op). Program ini lebih panjang dari kerja praktik karena mencapai kurun waktu 3-6 bulan dan bahkan dapat mencapai 1 tahun. Peserta magang umumnya mahasiswa tahun terakhir yang tinggal mengerjakan skripsi dan mahasiswa yang baru lulus tetapi tidak langsung memasuki duni kerja.
Peserta magang menjalani proses kerja terbimbing (seperti probation atau masa percobaan), mendapatkan tugas khusus tertentu dan dibayar walau tidak sebesar pegawai baru di sebuah perusahaan. Program ini sangat menarik bagi dunia industri karena dapat mengamati dedikasi dan loyalitas peserta magang. Sejumlah perusahaan semisal PT Telkom dan PT Iindustri Kereta Api (Inka) di Madiun sudah memasukkan kegiatan magang sebagai salah satu proses untuk merekrut tenaga kerja yang andal.
Namun demikian, program magang ini belumlah mampu meningkatkan jiwa kemandirian mahasiswa karena sifatnya masih belum wajib. Ini senada dengan pendapat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memerintahkan Mendiknas Mohammad Nuh untuk mengubah metode mengajar, yakni dengan menerapkan materi kewirausahaan dengan tujuan akhir untuk mengurangi pengangguran. Presiden SBY menegaskan, pola pengajaran sekarang tidak mendorong siswa untuk kreatif dan inovatif sehingga sulit memunculkan jiwa kewirausahaan peserta didik.
Dengan kata lain, lulusan perguruan tinggi lebih cenderung untuk menjadi pegawai atau karyawan dan sangat sedikit yang berminat untuk menjadi pengusaha. Mendiknas M Nuh di sela-sela temu alumni Jurusan Teknik Elektro ITS menjelaskan, permintaan Presiden tersebut merupakan salah satu program 100 hari Depdiknas dan diharapkan sudah dapat dirumuskan pada akhir Januari 2010.
Perkembangan ini menarik perhatian Dr Achmad Affandi, dosen senior Jurusan Teknik Elektro ITS dan peneliti pada program JICA-PREDICT yang berpusat di Lantai 6 Perpustakaan ITS. Beberapa waktu lalu, Dr Affandi mengelola program magang-bisnis yang melibatkan mahasiswa ITS, UK Petra dan Universitas Ciputra. Program ini didanai oleh USAID dan Yayasan SENADA dari USA.
Dalam hal ini mahasiswa dengan latar belakang IT diterjunkan ke perusahaan kecil seperti industri sepatu di Tanggulangin. Mereka diminta membenahi sistem IT perusahaan yang terlibat sambil mempelajari konsep bisnis sehingga di akhir program dapat mengusulkan sebuah proposal bisnis. Meskipun dinilai cukup berat, program ini menurut Dr Affandi cukup berhasil.
Selain melalui pola bekerja magang di industri sehingga tumbuh jiwa wirausaha di kalangan anak didik, Guru Besar Perikanan UGM Prof Kamiso menggarisbawahi, penelitian dosen yang melibatkan mahasiswa sudah waktunya dikembangkan ke arah produksi dan pemasaran hasil-hasilnya.
Prof Kamiso juga menegaskan perlunya peneliti bekerja sama dengan mitra industri sehingga hasil-hasil penelitian tidak hanya berakhir di laporan dan seminar/jurnal tetapi justru harus diproduksi dan dipasarkan. Mahasiswa dapat diajarkan cara meneliti yang benar dan sekaligus cara berbisnis yang santun dan tepat. (Sumber: Surya, 16 Januari 2010)
0 comments:
Posting Komentar