OLEH: HERU GUNTORO
Jakarta - Sepanjang tahun 2009, pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta tindakan intoleransi masih marak terjadi. Indonesia yang selama ini diposisikan sebagai negara muslim moderat terbesar di dunia, nyatanya masih saja karut-marut dalam menjalankan kebebasan beragama dan berkeyakinan di negeri ini.
|
Hal ini terungkap dalam laporan akhir tahun Wahid Institute mengenai kehidupan keagamaan di Indonesia, beberapa saat lalu. Selama periode tahun 2009, Wahid Institute mencatat setidaknya ada 35 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dilakukan aparatur negara. Sementara itu, tindakan intoleransi dan diskriminasi berdasar agama dan keyakinan telah terjadi sebanyak 93 kasus.
Pelanggaran kebebasan beragama digolongkan sebagai upaya menghalang-halangi kegiatan keagamaan oleh negara. Sementara itu, tindakan intoleransi dan diskriminasi mencakup pembedaan dan larangan pada agama atau kepercayaan tertentu yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat tertentu.
Dari 35 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, menurut laporan Wahid Institute, paling banyak terjadi di wilayah Jawa Barat (Jabar) yaitu 10 kasus. Jabar juga menempati posisi tertinggi dalam tindakan intoleransi atau diskriminasi, yakni 32 kasus. Pelaku intoleransi itu, ironisnya paling banyak dilakukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan 12 tindakan, berupa fatwa sesat terhadap kelompok-kelompok tertentu.
"Secara umum, meski diposisikan sebagai negara muslim moderat terbesar di dunia, situasi keagamaan kita masih memprihatinkan," kata Direktur Wahid Institute Zannuba Arifah Chafsoh atau biasa dipanggil Yenny Wahid, dalam diskusi laporan akhir tahun Wahid Institute, pekan lalu.
Yenny mengatakan, pelanggaran kebebasan beragama masih dan intoleransi masih tinggi, salah satunya karena sikap pemerintah yang tidak memiliki visi, misi tegas dalam mengawal kebebasan beragama.
"Pemerintah cenderung menghindari isu kebebasan beragama, ini karena tidak ada visi dan misi yang jelas mengenai masalah ini. Pemerintah lebih mengikuti selera massa dan mengambil kebijakan popoler," sahut putri kedua mantan Presiden Abdurrahman Wahid ini.
Pemerintah, lanjut Yenny, sering meminggirkan isu kebebasan beragama, karena dianggap belum menjadi instrumen ukur keberhasilan pemerintah. Oleh karena itu, pelanggaran dalam kehidupan keagamaan masih sering terjadi. "Padahal, isu ini merupakan salah satu isu paling tua di dunia. Meskipun diproteksi undang-undang, tapi masih tetap menjadi isu pinggiran," tandasnya.
Koordinator Wahid Institute Rumadi menambahkan, ada tiga penyebab terjadinya persoalan isu kebebasan beragama. Pertama, permasalahan regulasi dalam struktur kenegaraan. Kedua, kualitas penegakan hukum dan kapasitas aparatnya. Ketiga, permasalahan di tingkat masyarakat.
Rumadi berharapkan, di masa depan akan ada perbaikan pada tiga usnur ini demi menjamin berlangsungnya praktik kebebasan beragama dan berkeyakinan di negeri ini. Khususnya aparatur negara, Rumadi meminta agar mereka memahami fungsi negara ialah menjamin, memenuhi dan melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan warganya dari ancaman pihak lain.
Birokratisasi Agama
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Dr Azyumardi Azra memperkirakan, masalah kehidupan keagamaan di Indonesia masih akan terjadi pada 2010, terutama berkaitan dengan birokratisasi agama.
Hal ini terlihat dari munculnya aturan-aturan tentang kegiatan keagamaan, salah satunya adalah Rancangan Undang-Undang (RUU) yang mengatur tentang pembayaran zakat.
Melalui undang-undang tersebut, pemerintah memiliki kewenangan untuk mengatur tentang pembayaran zakat, mulai dari pengumpulan hingga pendistribusiannya, termasuk menentukan lembaga yang berwenang melaksanakannya.
Ia menilai, birokratisasi agama, salah satunya dengan pengaturan mengenai zakat ini, berdampak buruk bagi organisasi masyarakat berbasis Islam. Ormas Islam menjadi tidak memiliki kebebasan untuk menjalankan fungsinya.
"Ormas Islam bisa runtuh. Ini bisa menimbulkan bahaya yang besar bagi ormas Islam. Jadi, harus diantisipasi betul," katanya.
Azyumardi juga menuturkan, politisasi agama kemungkinan juga masih akan terjadi di 2010. Agama berpotensi dijadikan sebagai alat tukar menukar demi kepentingan politik.
Ia mencontohkan, untuk meloloskan sebuah peraturan daerah yang berunsur keagamaan, tidak jarang anggota legislatif melakukan tawar-menawar dengan menjanjikan dukungan politik. "Untuk lolosnya perda itu, bisa terjadi political trading," katanya.
Regulasi Keagamaan
Menyangkut regulasi keagamaan di tahun 2009, secara umum belum ada perbaikan regulasi keagamaan yang dipandang diskriminatif, di mana di dalamnya mengandung unsur pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Pada tingkat nasional, ada upaya mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap dua Undang-Undang (UU) yang dianggap problematik, yaitu UU No 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama serta UU No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, hingga kini belum ada putusan MK.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga melakukan pembahasan dua RUU yang terkait dengan isu agama, yaitu RUU tentang Zakat, yang merupakan revisi dari UU No 3B Tahun 1999 tentang Zakat dan RUU tentang jaminan produk halal.
Akan tetapi, hingga masa jabatan DPR periode 2004-2009 berakhir, dua RUU tersebut belum disahkan karena di dalamnya masih banyak problem, baik menyangkut aspek materi maupun formilnya. Dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2010, kedua RUU tersebut menjadi prioritas untuk dibahas, di samping itu sejumlah RUU keagamaan lain, seperti RUU tentang Hukum Materi Peradilan Agama Bidang Perkawinan dan RUU tentang KUHP, yang di dalamnya ada soal penodaan agama.
Demikian juga dengan sejumlah peraturan daerah (perda) dan kebijakan diskriminatif yang dalam pemantauan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan berjumlah 154 kebijakan daerah, baik di tingkat provinsi, kabupaten maupun kota, masih tetap eksis. Alih-alih merevisi, sepanjang tahun 2009, meski tidak dalam jumlah yang fantastis, upaya untuk memperkuat regulasi keagamaan terus muncul, baik di tingkat nasional maupun daerah.
Selama 2009, ada enam perda keagamaan yang sudah disahkan di DPRD, yaitu Qanun Jinayah di Naggroe Aceh Darussalam (NAD), Perda Zakat di Bekasi, Perda Pelarangan Pelacuran di Jombang, Perda pendidikan Alquran di Kalimantan Selatan, Perda pengelolaan Zakat di Batam, Perda pengelolaan Zakat di Mamuju dan Surat Keputusan (SK) Wali Kota palembang No 177 Tahun 2009 tentang Kewajiban Membayar Zakat bagi PNS di Kota Palembang.
Hal yang tak kalah problematik pada level ini adalah masih adanya delik penodaan agama yang diberlakukan secara longgar. Delik penodaan agama yang dikukuhkan melalui UU No 1/PNPS/1965 dan dimasukkan pada pasal 156a KUHP. Dalam praktiknya, itu diterapkan untuk mengancam penafsiran-penafsiran agama yang berbeda dengan pemahaman mainstream.
Memang, delik penodaan agama bisa menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, UU ini seolah melindungi agama, tapi di pihak lain menjadi ancaman bagi keyakinan keagamaan tertentu. Implementasi delik penodaan agama seharusnya disertai unsur penyebaran kebencian. Jika tidak ada unsur kebencian, sebuah aliran tidak bisa dikatakan melakukan penodaan agama, meskipun penafsirannya bertentangan dengan pemahaman mainstream.
Isu Pluralisme
Yenny Wahid menjelaskan, problem kehidupan keagamaan dan berkeyakinan di Indonesia, terutama menyangkut isu pluralisme dan kebebasan beragama sepanjang tanhun 2009 dan tahun-tahun sebelumnya, setidaknya berada dalam tiga level problem. Pertama, regulasi dalam struktur kenegaraan. Sebagai negara hukum, keberadaan regulasi dan perundang-undangan tentu sangat penting. Keberadaan regulasi di dalam berbagai levelnya, mulai dari konstitusi, UU, dan peraturan di bawahnya merupakan wujud dari kontrak sosial warga negara. Olehh karena itu, regulasi bukan saja harus diarahkan untuk kesejahteraan rakyat, tapi juga untuk melindungi hak-hak dasar warga negara.
Kedua, problem pada tingkat penegakan hukum dan kapasitas aparat penegak hukum. Regulasi yang baik tidak selalu akan menghasilkan keadilan jika aparat hukumnya tidak punya kapasitas untuk menegakkan regulasi itu. Sebaliknya, meskipun dari aspek normatif hukum terdapat kekurangan, tapi aparat penegak hukumnya mempunyai kredibilitas, maka lebih dimungkinkan untuk menegakkan keadilan.
Ketiga, problem pada level masyarakat. Pada level ini, problemnya lebih kompleks karena di dalamnya melibatkan struktur kesadaran, baik itu yang berasal dari agama, tradisi maupun perpaduan antara keduanya.
Di samping itu, problem kebangsaan, konstitusi, kewarganegaraan dan agama belum sepenuhnya tuntas. Masyarakat Indonesia yang dikenal sebagai masyarakat yang religius masih menghadapi dilema untuk meletakkan secara tuntas posisi agama dan negara di tengah masyarakat yang plural. Agama dengan ketentuan-ketentuan hukum yang ada di dalamnya, masih diposisikan lebih tinggi daripada hukum yang dirumuskan bersama dalam konteks berbangsa dan bernegara.
Secara normatif, hal demikian tidak sepenuhnya keliru, karena konstitusi Indonesia memang bersikap ambigu menyangkut posisi agama dalam negara. Di satu sisi, konstitusi menyatakan "negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa", di mana dengan pasal ini seolah Indonesia sudah menjadi "negara agama". Aka tetapi, di sisi lain, Indonesia juga seolah-olah menjadi "negara sekuler", di mana negara tidak boleh mencampuri urusan agama warganya. Terutama yang menyangkut forum internum.
Azyumardi menyatakan tidak terlalu optimistis terhadap kondisi kehidupan keagamaan di Indonesia pada 2010 akan lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya. Apalagi, hubungan antara pemerintah dengan ormas Islam terus merenggang.
"Ada jarak lebar antara ormas Islam dengan pemerintah, sumbernya sisa dari proses politik 2009," katanya.
Jarak antara pemerintah dengan ormas Islam ini, menurut Azyumardi, harus segera dihilangkan dengan membangun kembali komunikasi politik yang sempat terputus.
Sumber: Sinar harapan | Selasa, 05 Januari 2010 12:44
0 comments:
Posting Komentar