AVi | 700.31 MB
Genre: Drama
IMDB Rating: (awaiting 5 votes)
Directed by: Nayato Fio Nuala
Starring: Arumy Bachsin, Adipati Koesmadji, Rana Audi Marissa, Michella Putri, Rendy Septino
Download:
Explore, Dreams and Discover
"Bagi Anda hanya satu hari cuti bekerja, namun bagi murid-murid itu bisa menjadi hari yang menginspirasi mereka seumur hidup. Berbagi cerita, pengetahuan, dan pengalaman untuk menjadi cita-cita dan mimpi mereka."
Kalau seorang pejabat disebut orang yang paling mengerti apa itu nasionalisme, maka – sekali lagi kami belum punya hal itu. Kalian tahu, arti kata oposisi dan koalisi saja kami tidak paham, yang kami paham cuma istilah saling menasehati dan saling tolong, itu saja.
Sering hanya asal meniru; taklid buta, tanpa mempertimbangkan lebih jauh, termasuk kepatutannya dengan diri sendiri. Ingat, saat orang kita meniru mode pakaian, misalnya. Tidak peduli tubuh kerempeng atau gendut, pendek atau jangkung; semuanya memakai rok span atau celana cutbrai, meniru bintang atau peragawati luar negeri.
Oleh: A. Mustofa Bisri
Persoalan sepele bisa menjadi api penyulut peperangan besar apabila itu menyangkut kehormatan atau kepentingan kelompok. Pertengkaran pribadi antar kelompok dapat dengan cepat membakar emosi seluruh anggota masing-masing kelompok oleh apa yang disebut-kecam nabi Muhammad s.a.w. dengan Da’wa ‘l-jahiliyyah, masing-masing pihak yang bertengkar memanggil-manggil meminta bantuan kelompoknya. Dan pertengkaran pribadi pun menjadi peperangan antar kelompok.
Generasi kyai NU pertama yang mencontohkan dan mengajarkan patriotisme; benar-benar berhasil mencetak generasi penerus yang tidak hanya menguasai ilmu dan mengamalkan akhlak luhur Islam, tapi juga patriot-patriot bangsa teladan. Pemimpin-pemimpin Islam yang memiliki jiwa keindonesiaan dan kebangsaan yang tinggi. Sebagaimana generasi sebelumnya, generasi angkatan kedua ini belajar ilmu Islam dari sumber-sumbernya dan dari guru-guru yang memiliki kesinambungan ilmiah dari guru ke guru. Dan sebagaimana generasi sebelumnya, merasakan pahit-getirnya perjuangan membela tanah air melawan penjajah Belanda dan Jepang.
Konsep kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan praktek pendidikan, juga bervariasi sesuai dengan aliran atau teori pendidikan yang dianutnya. Menurut pandangan lama, kurikulum merupakan kumpulan mata-mata pelajaran yang harus disampaikan guru atau dipelajari oleh siswa. Pandangan yang muncul sejak zaman Yunani kuna ini, dalam lingkungan tertentu masih dioakai hingga kini, sebagaimana pendapat Robert S. Zais (1976:7), “a recesourse of subject matters to be mastered”. Menurut pendapat ini, kurikulum identik dengan bidang studi.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa kurikulum merupakan pengalaman belajar, pendapat ini dikemukakan antara lain oleh Caswell dan Cambell (1975), “…to be composed of all the experiences children have under the guidance of theachers”. Ronald C Doll (1974:22), menggambarkan kurikulum telah berubah dari kontens belajar (isi) ke proses, dari skop yang sempit kepada yang lebih luas, dari materi ke pengalaman, baik di rumah, sekolah maupun lingkungan masyarakat, bersama guru atau tidak, ada hubungannya dengan pelajaran ataupun tidak, termasuk upaya guru dan fasilitas untuk mendorongnya. Meskipun, pemaknaan kurikulum demikian, mendapat kritik dari Mauritz Johnson (1967:130), menurutnya pengalaman hanya akan terjadi bila siswa berinteraksi dengan ligkungannya, interaksi seperti demikian bukan kurikulum tetapi pengajaran. Menurutnya, kurikulum hanya berkenaan dengan “… a structured series of intended learning outcomes”, hasil yang dicapai dari hasil belajar siswa. Oleh karena itu, perencaan dan pelaksanaan isi, kegiatan belajar mengajar, evaluasi termasuk pengajaran.
Mc Donald (1967:3) memandang kurikulum sebagai rencana pendidikan atau pengajaran, yang terdiri dari empat komponen, yaitu: mengajar (kegiatan professional guru terhadap murid), belajar (kegiatan responsi siswa terhadap guru), pembelajaran (interaksi antara guru murid pada proses belajar mengajar) dan kurikulum (pedoman proses belajar mengajar).
Bauchamp (1968) menekankan kurikulum sebagai rencana pendidikan atau pengajaran. Ia menegaskan bahwa kurikulum adalah dokumen tertulis dan sekaligus merupakan rencana pendidikan yang given di sekolah. Tetapi, kurikulum tidak hanya dinilai dari segi dokumen dan rencana pendidikan, karena ia harus memiliki fungsi operasional kegaiatan belajar mengajar, dan menjadi pedoman bagi pengajar maupun pelajar.
Hilda Taba (1962) berpendapat, kurikulum tidak hanya terletak pada pelaksanaanya, tetapi pada keluasan cakupannya, terutama pada isi, metode dan tujuannya, terutama tujuan jangka panjang, karena justeru kurikulum terletak pada tujuannya yang umum dan jangka panjang itu, sedangkan imlementasinya yang sempit termasuk pada pengajaran, yang keduanya harus kontinum.
Kurikulum, juga merupakan perwujudan penerapan teori baik yang terkait dengan bidang studi maupun yang terkait dengan konsep, penentuan, pengembangan desain, implementasi, dan evaluasiya. Oleh karna itu, ia merupakan rencana pengajaran dan sistem yang berisi tujuan yang ingin dicapai, bahan yang akan disajikan, kegiatan pengajaran, alat-alat pengajaran, dan jadwal waktu pengajaran. Sebagai suatu sistem kurikulum merupakan bagian dari sistem organisasi sekolah yang menyangkut penentuan kebijakan kurikulum, susunan personalia dan prosedur pengembangannya, penerapan, evaluasi dan penyempurnaannya (Saodih, 2008:4-7).
Dalam konteks pendidikan Nasional, kurikulum adalah rencana tertulis tentang kemampuan yang harus dimiliki berdasarkan standar nasional, materi yang perlu dipelajari dan pengalaman belajar yang harus dijalani untuk mencapai kemampuan tersebut, dan evaluasi yang perlu dilakukan untuk menentukan tingkat pencapaian kemampuan peserta didik, serta seperangkat peraturan yang berkenaan dengan pengalaman belajar peserta didik dalam mengembangkan potensi dirinya pada satuan pendidikan tertentu.
Dalam Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan lahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Rumusan ini lebih spesifik mengandung pokok – pokok pikiran, sebagai berikut:
Rumusan tersebut menjadi lebih jelas dan lengkap, karena suatu kurikulum harus disusun dengan memperhatikan berbagai faktor penting. Dalam undang-undang telah dinyatakan, bahwa: “Kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan.”
Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam penyusunan suatu kurikulum, ialah:
Rumusan kurikulum menunjukkan kecenderungan berubah, dari rumusan yang bertolak dari isi/materi course of studi menjadi pengertian yang lebih luas, yakni…as all the learning experiences under the aegis of the school (Hills 118). Perubahan menitikberatkan pada apa yang dikerjakan dan dipelajari di sekolah, dipengaruhi bukan semata-mata oleh mata ajaran yang diajarkan, melainkan bergantung pada tugas-tugas belajar yang disiapkan koherensi dan keseimbangan dalam keseluruhan program-sekolah, bagaimana siswa terlibat secara reflektif dalam kurikulum, nilai-nilai dan tujuan-tujuan para guru, yang berkaitan dengan cara mereka menilai belajar siswa dan menilai dirinya sendiri. Cara yang sederhana untuk mempertimbangkan kurikulum adalah melihat kurikulum dari 4 fase, yakni: isi (content), metode, tujuan (purpose) dan evaluasi.
Dalam perspektif ini, kurikulum sekolah keseluruhan (a whole school curriculum) bukan hanya sangat kompleks namun juga merupakan satu kesatuan yang ideal. Suatu sekolah juga memiliki a hidden curriculum’…the largely unintended effect of its social milieu, sedangkan the actual curriculum, yang ditafsirkan sebagai siswa mengalami secara aktual dan guru mengajarkan secara aktual, mungkin berbeda dengan apa yang direncanakan secara formal. Jurang antara curriculum-as-intention dan curriculum-in-use (atau in-transaction) mendasari kebutuhan mendasar dan kongkrit yang harus diperbuat dan dipelajari siswa di sekolah, yang dirancang dalam public curriculum. Masalahnya adalah bagaimana membuat suatu kurikulum yang efektif dan bermakna bagi publik luas. Ada 2 pendekatan yang dapat digunakan, yakni (1). Melihatnya sebagai suatu masalah riset terhadap pengajaran bukan sebagai perencanaan umum. Kurikulum dilihat sebagai suatu spesifikasi dari konten dan prinsip-prinsip untuk diinvestigasi dalam realita kelas; (2) Pendekatan kedua lebih menekankan pada kurikulum sebagai keseluruhan dan sebagai isi (intention), misalnya sebagai peta kebudayaan. Konsepsi integrative diterjemahkan menjadi analisis hambatan terhadap guru dan sekolah, dan mengaitkan teori kurikulum dengan strategi perubahan sosial jangka panjang.
Terdapat beberapa gagasan mengenai kurikulum, antara lain:
Pertama, Whole Curriculum. Istilah The Whole Curriculum, tidak bersinonim dengan curriculum dan cenderung digunakan untuk membedakan program sekolah yang menyeluruh seimbang dan koherensi dengan source study. Keputusan-keputusan mengenai the whole curriculum tergantung pada persoalan-persoalan yang berkenaan dengan proses sekolah jangka panjang diseleksi dari kebudayaan yang bermanfaat, dengan pola studi tertentu bagi semua siswa.
Konsep tersebut ada kaitannya dengan pernyataan, bahwa “Curriculum all the learning experience planned and guided by school”. Konsep ini mengandung dua cabang: berkenaan dengan lingkungan belajar total, pengembangan diri siswa yang ditransmisikan padanya; dan penempatan komponen subjects dalam konteks desain the whole curriculum. Konsep ini membantu mengenai cara the whole curriculum menyajikan ‘a selection from culture’, asumsi-asumsi tentang pengetahuan yang ditransmisikan dalam masyarakat. Dari perspektif ini dapat dipertanyakan dan diklarifikasi kontribusi pola-pola organisasi kurikulum, subject-based by tradition ke arah tujuan-tujuan persekolahan jangka panjang.
Kedua, Hidden Curriculum, gagasan ini merupakan suatu tantangan bagi perancang kurikulum. Hidden Curricu¬lum memuat kontradiksi terhadap kurikulum official (intended curriculum), karena merupakan kurikulum tak tertulis (Hargreaves, 1978). Kurikulum ini adalah hasil dari desakan yang memberikan efek tak diinginkan, untuk mempengaruhi orang lain agar menyetujui sesuatu yang diharapkan, melalui interaksi kelas upaya penyebarluasan pesan-pesan kultural mengenai tingkah laku sosial.
Ketiga, Komponen-komponen Kurikulum, kurikulum memiliki komponen-komponen yang berkaitan satu dengan yang lainnya, yakni : (1). Tujuan, (2), Materi, (3). Metode, (4). Organisasi, dan (5). Evaluasi. Komponen-komponen tersebut, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama menjadi dasar utama dalam upaya mengembangkan sistem pembelajaran.
Keempat, Peranan Kurikulum, kurikulum direncanakan secara sistematis, mengemban peranan penting bagi pendidikan, yakni: (1). Peranan konservatif, (2). Peranan kritis dan evaluatif, dan (3). Peranan kreatif. Ketiga peranan ini sama pentingnya dan antara ketiganya perlu dilaksanakan secara berkeseimbangan.
Kelima, Fungsi Kurikulum, sebagaimana dikemukakan Alexander Inglis (1978), menyatakan:
Keenam, Pendekatan Studi Kurikulum, mempertanyakan apa yang dipergunakan dalam pembahasan atau dalam penyusunan kurikulum tersebut. Penggunaan sesuatu pendekatan (approach) menentukan bentuk dan pola yang dipergunakan oleh kurikulum tersebut melalui empat pendekatan, yakni: mata pelajaran, interdispliner, integratif dan sistem.
Ketujuh, Proses Kurikulum, pada dasarnya merupakan suatu perangkat lengkap yang menjadi dasar bagi guru dalam membuat semua keputusannya di sekolah. Setiap guru memiliki kemampuan membentuk atau menyusun kurikulum berdasarkan suatu proses logis, dinilai terbaik pada saat disampaikan pada siswanya. Jika guru tidak berpedoman pada kurikulum, pengajarannya akan menimbulkan meragukan.
Sejalan dengan penerapan konsep School Based Management, saat ini ada kecenderungan sekolah-sekolah negeri pun mulai menentukan kebijakan seragam sekolahnya masing-masing. Pada hari-hari tertentu mewajibkan siswanya untuk mengenakan seragam khas sekolahnya, meski ketentuan “seragam standar nasional” masih tetap menjadi utama dan tidak ditinggalkan.
Pada sekolah-sekolah tertentu, kewajiban mengenakan seragam telah menjadi bagian dari tata-tertib sekolah dan dilaksanakan secara ketat, mulai dari ketentuan bentuk, bahan, atribut yang dikenakannya, bahkan termasuk cara pembeliannya. Penerapan disiplin berseragam yang sangat ketat, kerapkali “memakan korban” bagi siswa yang melanggarnya, mulai dari teguran lisan yang terjebak dalam kekerasan psikologis sampai dengan tindakan kekerasan hukuman fisik (corporal punishment).
Sama seperti kejadian di beberapa negara lain, ketentuan mengenakan seragam sekolah ini keberadaannya selalu mengundang pro-kontra. Di satu pihak ada yang setuju dan di pihak lain tidak sedikit pula yang memandang tidak perlu ada seragam sekolah, tentunya dengan argumentasi masing-masing. Bahkan di mata siswa pun tidak mustahil timbul pro-kontra. Lumsden (2001) menyebutkan beberapa keuntungan penggunaan seragam sekolah, diantaranya: (1) dapat meningkatkan keamanan sekolah (enhanced school safety); (2) meningkatkan iklim sekolah (improved learning climate), (3) meningkatkan harga diri siswa (higher self-esteem for students), dan (4) mengurangi rasa stress di keluarga (less stress on the family).
Mereka yang tidak setuju adanya aturan berseragam tentunya memiliki argumentasi tersendiri, biasanya dengan dalih pendidikan sebagai proses pembebasan dan proses keberagaman (bukan penyeragaman), apalagi dengan kecenderungan menjadikan seragam sekolah sebagai ritual tahunan “selingan bisnis” oknum tertentu, yang melihatnya sebagai sebuah peluang ekonomi.
Menarik, apa yang dikembangkan di SMA de Britto Yogyakarta, yang tidak mewajibkan siswanya mengenakan seragam secara ketat. Kecuali hari Senin dan hari-hari lain yang diumumkan oleh sekolah, para siswa diperbolehkan mengenakan pakaian bebas, yaitu baju atau kaos yang berkrah dan celana panjang bukan kolor. Meski tidak secara ketat menerapkan aturan berseragam, tetapi para siswanya tampaknya dapat menunjukkan prestasi yang membanggakan, baik secara akademik mau pun non akademik.
Hal lain yang mungkin perlu kita pertanyakan, kenapa pada umumnya siswa laki-laki di SMP saat ini masih diwajibkan mengenakan seragam dengan celana pendek. Secara psikologis, sebetulnya para siswa SMP tidak lagi disebut anak, mereka adalah kelompok siswa yang sedang memasuki remaja awal, dalam dirinya sedang terjadi perubahan yang signifikan, baik secara fisik mau pun psikis, termasuk di dalamnya ada keinginan mereka untuk menjadi dirinya sendiri dan memperoleh pengakuan untuk tumbuh dan berkembang menjadi orang dewasa. Kenapa tidak diberikan kesempatan untuk itu? Demikian pula dalam pandangan Islam, usia siswa SMP pada dasarnya sudah termasuk masa aqil baligh dan sudah dikenakan kewajiban (atau paling tidak dibelajarkan) untuk melaksanakan ibadah Shalat. Dengan kewajiban mengenakan celana pendek tentunya akan menjadi hambatan tersendiri untuk menjalankan ibadahnya.
Berseragam atau tidak berseragam memang menjadi sebuah pilihan, tetapi yang paling penting dalam proses pendidikan adalah bagaimana siswa dapat dikembangkan secara optimal segenap potensi yang dimilikinya sehingga mampu menunjukkan prestasinya, baik dalam bidang akademik maupun non akademik.
Sumber: akhmadsudrajat.wordpress.com
Peneliti astronomi dan astrofisik Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) yang baru saja dikukuhkan sebagai profesor riset Indonesia Dr Thomas Djamaluddin Msc, Rabu, menyatakan tidak ada yang istimewa dari fenomena alam 2012 itu karena hanya siklus 11 tahunan meningkatnya aktivitas matahari.
“Fenomena 2012 yang menghebohkan masyarakat lebih banyak berawal dari ramalan suku Maya, bukan berasal dari alasan ilmiah. Kalau kemudian memang ada fenomena 2012 alasan ilmiahnya apa? Tapi yang lebih banyak diungkapkan justru bukan sainsnya,” kata Thomas usai dikukuhkan sebagai profesor riset di kantor Lapan Jakarta.
Menurut Thomas, fenomena aktivitas puncak matahari sebelumnya diperkirakan terjadi pada 2011, namun titik minimumnya bergeser sehingga diperkirakan terjadi pada 2012. Namun, sekarang pun ada pergeseran lagi sehingga kemungkinan terjadi pada 2013.
Secara alamiah, tegas Thomas, tidak ada yang istimewa karena itu merupakan siklus 11 tahunan. “Terakhir terjadi pada 1989 kemudian pada 2000, dan nanti 2012 atau 2013 akan terjadi lagi.”
Orang kemudian mengkhawatirkan terjadi badai matahari, padahal tidak akan ada badai matahari dahyat yang menimbulkan dampak parah.
Badai matahari pada dasarnya adalah fenomena bumi yang sering terjadi bukan saja saat aktivitas matahari mencapai puncak, tetapi saat aktivitas mulai naik hingga turun lagi tetap ada badai matahari.
Artinya memang frekuensi kejadiannya lebih banyak pada saat puncak. Tetapi, menurut Thomas, kekuatan terbesarnya belum tentu pada saat puncak. Sering kali yang paling kuat justru setelah puncak.
“Katakan puncak yang lalu terjadi di 2000, tetapi aktivitas matahari yang paling besar, yang paling kuat justru terjadi pada 2003,” katanya.
Perbincangan fenomena aktivitas matahari ini juga berkembang, yang kemudian dikaitkan lagi dengan seolah-olah akan ada tumbukan komet.
“Itu juga secara astronomi tidak ada buktinya. Tidak ada informasi atau perkiraan akan ada komet besar yang menabrak bumi pada 2012. Kemudian ada lagi yang memperkirakan ada planet Nibiru, padahal planet Nibiru tidak dikenal dalam astronomi,” jelas Thomas.
Berbagai perbincangan mengenai fenomena 2012, seperti seolah-olah berdasarkan teori astronomi ada asteroid besar yang akan menghantam bumi, sama sekali tidak punya dasar atau tidak ada alasan astronominya.
“Jadi pada dasarnya kekhawatiran 2012 lebih banyak terkait dengan penafsiran ramalan suku Maya, dan oleh ketua suku Maya sendiri sudah menyatakan bahwa 2012 bukan akhir dan itu hanyalah pergantian item kalender yang biasa,” kata dia.
Menurut Thomas, dampak dari badai matahari yang ditimbulkan dari percikan partikel matahari dan menimbulkan medan magnit itu selama ini hanya berdampak pada keberadaan satelit di orbit dan terhadap transformer fasilitas jaringan listrik.
Badai matahari dapat menimbulkan induksi ke fasilitas jaringan listrik sehingga terjadi kelebihan beban dan bisa menyebabkan trafo meledak atau terbakar.
Sampah Antariksa
Dalam orasi ilmiahnya pada pengukuhannya sebagai profesor riset bersama Dr Ir Chunaeni Latief Msc, Thomas juga menyatakan bahwa wilayah Indonesia yang dilalui garis ekuator cukup panjang rentan menjadi tempat jatuhnya sampah antariksa yang sekarang kian banyak.
“Sampah antariksa semakin lama semakin banyak. Yang terpantau oleh sistem jaringan pemantau internasional ada sekitar 13 ribu lebih dan ancamannya bisa mengganggu satelit aktif. Dan salah satunya pernah, sampah antariksa bekas satelit Rusia menabrak satelit aktif karena semakin banyak satelit di antariksa kemungkinan bertabrakan semakin besar,” katanya.
Indonesia yang berada di garis ekuator memiliki kemungkinan lebih besar untuk terkena risiko jatuhnya sampah antariksa dibanding kawasan lain. Oleh karena itu Indonesia harus selalu waspada karena berada pada wilayah yang sering dilalui orbit satelit.
Hal itu harus menjadi perhatian Lapan dalam memberikan pelayanan informasi potensi bahaya benda jatuh dari antariksa sehingga kemungkinan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dapat dinetraliskan, demikian Thomas Djamaluddin.
Bersama Thomas, peneliti Lapan Dr Ir Chunaeni Latief Msc juga dikukuhkan sebagai profesor riset dalam bidang Opto Elektronika dan Aplikasi Laser. Dalam orasinya ia lebih mencermati kandungan dan efek emisi gas rumah kaca (CO2) dan pemanfaatan instumensi Satklim LPN-1A untuk penelitiannya yang bermanfaat bagi dunia penerbangan, dan kajian pemanasan global.(*)
Sumber: antaranews.com
Komponen pembelajaran yang efektif meliputi:
Konstruktivisme, konsep ini yang menuntut siswa untuk menyusun dan membangun makna atas pengalaman baru yang didasarkan pada pengetahuan tertentu. Pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak secara tiba-tiba. Strategi pemerolehan pengetahuan lebih diutamakan dibandingkan dengan seberapa banyak siswa mendapatkan dari atau mengingat pengetahuan.
Tanya jawab, dalam konsep ini kegiatan tanya jawab yang dilakukan baik oleh guru maupun oleh siswa. Pertanyaan guru digunakan untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpikir secara kritis dan mengevaluasi cara berpikir siswa, seangkan pertanyaan siswa merupakan wujud keingintahuan. Tanya jawab dapat diterapkan antara siswa dengan siswa, guru dengan siswa, siswa dengan guru, atau siswa dengan orang lain yang didatangkan ke kelas.
Inkuiri, merupakan siklus proses dalam membangun pengetahuan/ konsep yang bermula dari melakukan observasi, bertanya, investigasi, analisis, kemudian membangun teori atau konsep. Siklus inkuiri meliputi; observasi, tanya jawab, hipoteis, pengumpulan data, analisis data, kemudian disimpulkan.
Komunitas belajar, adalah kelompok belajar atau komunitas yang berfungsi sebagai wadah komunikasi untuk berbagi pengalaman dan gagasan. Prakteknya dapat berwujud dalam; pembentukan kelompok kecil atau kelompok besar serta mendatangkan ahli ke kelas, bekerja dengan kelas sederajat, bekerja dengan kelas di atasnya, beekrja dengan masyarakat.
Pemodelan, dalam konsep ini kegiatan mendemontrasikan suatu kinerja agar siswa dapat mencontoh, belajr atau melakukan sesuatu sesuai dengan model yang diberikan. Guru memberi model tentang how to learn (cara belajar) dan guru bukan satu-satunya model dapat diambil dari siswa berprestasi atau melalui media cetak dan elektronik.
Refleksi, yaitu melihat kembali atau merespon suatu kejadian, kegiatan dan pengalaman yang bertujuan untuk mengidentifikasi hal yang sudah diketahui, dan hal yang belum diketahui agar dapat dilakukan suatu tindakan penyempurnaan. Adapun realisasinya adalah; pertanyaan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya hari itu, catatan dan jurnal di buku siswa, kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran pada hari itu, diskusi dan hasil karya.
Penilaian otentik, prosedur penilaian yang menunjukkan kemampuan (pengetahuan, ketrampilan sikap) siswa secara nyata. Penekanan penilaian otentik adalah pada; pembelajaran seharusnya membantu siswa agar mampu mempelajari sesuatu, bukan pada diperolehnya informasi di akhr periode, kemajuan belajar dinilai tidak hanya hasil tetapi lebih pada prosesnya dengan berbagai cara, menilai pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa.
Oleh Prof Ir Ika Pria Utama MSc PhD CEng FRINA
Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)
Program link and match antara perguruan tinggi dan dunia industri sudah lama dicanangkan. Pada masa Menteri Pendidikan Dr Wardiman Djojonegoro, program ini diharapkan mampu menggairahkan kerja sama antara perguruan tinggi dan industri.
Apalagi saat itu Prof BJ Habibie juga menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi yang sangat antusias mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan industri sebagai salah satu penggerak utama pertumbuhan ekonomi masa depan.
Sayang, program ini tidak berjalan mulus, kadang muncul kadang hilang, walau lebih sering hilangnya. Dunia industri yang diharapkan berperan banyak sepertinya ragu-ragu mengambil peran. Alhasil, timbullah pernyataan mendasar bahwa lulusan perguruan tinggi (terutama program S-1) tidak siap bekerja.
Untuk menjawab tantangan pasar kerja, program pembinaan mahasiswa dimasukkan ke dalam kurikulum. Salah satu program yang dimaksud adalah kerja praktik (internship) dan belakangan disusul dengan program magang dan cooperative-education (co-op).
Program Kerja Praktik
Program ini menjadi pilihan menarik bagi kalangan perguruan tinggi atau fakultas keteknikan. Program yang umumnya dijalankan pada semester-semester akhir, pada semester 7-8 dari program studi yang didesain selama 8 semester atau 4 tahun, dimaksudkan untuk memberikan bekal kepada mahasiswa agar mendapatkan pengetahuan langsung tentang dunia industri. Program ini memiliki bobot 1-2 SKS yang setara dengan masa praktik selama 2-4 bulan di dunia industri.
Setiap mahasiswa peserta program yang wajib ini dibimbing seorang dosen pembina yang ditunjuk di dunia industri atau perusahaan. Selama kegiatan berlangsung, mahasiswa diberikan kesempatan belajar dan mengenal proses-proses industri sesuai bidang studinya masing-masing. Akhir dari program ini adalah pembuatan laporan kerja praktik dan ujian oral oleh dosen pembimbing. Dalam beberapa kejadian, pembimbing di perusahaan juga dapat menguji peserta kerja praktik.
Pada awalnya, program ini dipandang sangat menarik dan jumlah peguruan tinggi yang terlibat makin meningkat. Akan tetapi, pada tahun-tahun selanjutnya kenyataan ini tidak diikuti dengan pertumbuhan dunia industri yang positif dan belakangan diperparah dengan adanya krisis ekonomi sehingga dunia industri mengalami kesulitan menampung seluruh peserta kerja praktik.
Pada akhirnya, kerja praktik ini mirip dengan kegiatan kunjungan lapangan pada semester-semester awal sehingga tujuan semula program ini tidak tercapai dan gugatan bahwa mahasiswa S-1 tidak siap bekerja, kembali muncul.
Program Magang dan Co-Op
Bentuk lain dan merupakan pengembangan lebih lanjut program kerja praktik program magang atau cooperative education (co-op). Program ini lebih panjang dari kerja praktik karena mencapai kurun waktu 3-6 bulan dan bahkan dapat mencapai 1 tahun. Peserta magang umumnya mahasiswa tahun terakhir yang tinggal mengerjakan skripsi dan mahasiswa yang baru lulus tetapi tidak langsung memasuki duni kerja.
Peserta magang menjalani proses kerja terbimbing (seperti probation atau masa percobaan), mendapatkan tugas khusus tertentu dan dibayar walau tidak sebesar pegawai baru di sebuah perusahaan. Program ini sangat menarik bagi dunia industri karena dapat mengamati dedikasi dan loyalitas peserta magang. Sejumlah perusahaan semisal PT Telkom dan PT Iindustri Kereta Api (Inka) di Madiun sudah memasukkan kegiatan magang sebagai salah satu proses untuk merekrut tenaga kerja yang andal.
Namun demikian, program magang ini belumlah mampu meningkatkan jiwa kemandirian mahasiswa karena sifatnya masih belum wajib. Ini senada dengan pendapat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memerintahkan Mendiknas Mohammad Nuh untuk mengubah metode mengajar, yakni dengan menerapkan materi kewirausahaan dengan tujuan akhir untuk mengurangi pengangguran. Presiden SBY menegaskan, pola pengajaran sekarang tidak mendorong siswa untuk kreatif dan inovatif sehingga sulit memunculkan jiwa kewirausahaan peserta didik.
Dengan kata lain, lulusan perguruan tinggi lebih cenderung untuk menjadi pegawai atau karyawan dan sangat sedikit yang berminat untuk menjadi pengusaha. Mendiknas M Nuh di sela-sela temu alumni Jurusan Teknik Elektro ITS menjelaskan, permintaan Presiden tersebut merupakan salah satu program 100 hari Depdiknas dan diharapkan sudah dapat dirumuskan pada akhir Januari 2010.
Perkembangan ini menarik perhatian Dr Achmad Affandi, dosen senior Jurusan Teknik Elektro ITS dan peneliti pada program JICA-PREDICT yang berpusat di Lantai 6 Perpustakaan ITS. Beberapa waktu lalu, Dr Affandi mengelola program magang-bisnis yang melibatkan mahasiswa ITS, UK Petra dan Universitas Ciputra. Program ini didanai oleh USAID dan Yayasan SENADA dari USA.
Dalam hal ini mahasiswa dengan latar belakang IT diterjunkan ke perusahaan kecil seperti industri sepatu di Tanggulangin. Mereka diminta membenahi sistem IT perusahaan yang terlibat sambil mempelajari konsep bisnis sehingga di akhir program dapat mengusulkan sebuah proposal bisnis. Meskipun dinilai cukup berat, program ini menurut Dr Affandi cukup berhasil.
Selain melalui pola bekerja magang di industri sehingga tumbuh jiwa wirausaha di kalangan anak didik, Guru Besar Perikanan UGM Prof Kamiso menggarisbawahi, penelitian dosen yang melibatkan mahasiswa sudah waktunya dikembangkan ke arah produksi dan pemasaran hasil-hasilnya.
Prof Kamiso juga menegaskan perlunya peneliti bekerja sama dengan mitra industri sehingga hasil-hasil penelitian tidak hanya berakhir di laporan dan seminar/jurnal tetapi justru harus diproduksi dan dipasarkan. Mahasiswa dapat diajarkan cara meneliti yang benar dan sekaligus cara berbisnis yang santun dan tepat. (Sumber: Surya, 16 Januari 2010)